Monday, June 13, 2005

Tentang Putu

....
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali."Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"

( diculik dari cerpen Guru , garapan Putu Wijaya )

Yuph,
Sudah sejak lama aku hobi banget nge-download cerpen dari situs-situs sastra. Yang paling sering di sriti.com sih. Salah satunya, ya yang di atas itu. Aku memang suka banget baca cerpen, keterusan sejak baca majalah Horison pas SMA dulu. Ya githu degh. Pokoknya, banyak banget yang bisa diperoleh kalo baca cerpen sastra. Sastra. Bicara dengan hati. Dengan perasaan. Mungkin itu adalah salah satu bahasa yang paling dekat dengan nurani insani. (Walo ga jarang bikin orang ngerutin jidat tiga tekukan.. hehe..)

Sastra koran, githu ’inang’ situs itu menyebutnya. Hm, cerpen-cerpen yang dipajang di sana merupakan cerpen yang sebelumnya udah pernah dimuat di harian ato media cetak lainnya. Nggak jarang, tema-tema yang diusung cukup akurat menggambarkan borok-borok realitas yang kini sedang beredar di masyarakat. Nggak jarang juga mereka menampilkan cerita-cerita ’nakal’, mengungkit hal-hal yang luput dari ekor mata kita, ato malah hal-hal yang seringkali dicap tabu! Hm, sindiran nyinyir berbalut alur yang menawan, ato kisah dongeng-ist yang absurd, ato curhatan melankolis... Pokoknya nyastra banget lah! Mungkin itu kelebihan sastra, yang tak selalu indah, tapi selalu bisa dimaknai dan dipahami oleh hati.. Hati? Yuph, kadang kita lebih mudah tersentuh mendengar jeritan hati pelacur yang tak pernah terkatakan, dari pada slogan dan omong kosong normatif yang menilai hitam putih nafas kehidupan! Karena, ternyata, ada banyak hal yang tak pernah kita rasakan. Ada banyak hal yang tak pernah sempat kita pikirkan. Ada banyak hal yang tak pernah kita hadapi.. ada banyak sekali! Dan sastra, dalam hal ini cerpen, memaksa kita untuk meluangkan sejenak hidup kita untuk merasakan semua itu. Menikmati kontemplasi seorang tukang parkir, ato menyelami keraguan calon maling, ato keresahan bapak-bapak paro baya... wah, entah, tiba-tiba kita jadi panjang umur untuk merasakan kehidupan-kehidupan asing itu! Bukan lagi sekedar potret beku yang biasa kita lihat di jalanan saban pagi. Sebab sang sastrawan sudah mencekoki kita dengan ’otoritas’ sudut pandang dan pemaknaannya.
Hm, yang jelas .. kalo mereka yang nulis nggak akan secarut-marut ini lah! Hehe.. lompat-lompat ga karuan! Yuph! Kapan-kapan kalo ada waktu, cicipin nikmatnya sastra! Wong Umar ibn Khottob aja nyaranin kita supaya ngasih bekal sastra (*syair.. ) buat anak-anak kita.. karena sastra bisa ngelembutin ati!
Okeh, tuh kan aku jadi lupa tadinya mo nulis apa?!?!Hehe =P
Jadi gini sodara-sodara... (waduh.. kayak jendral nguliahin anak-buahnya ajah..)
Sastra, selain memikat dinikmati sebagai ’dongeng’, ternyata juga punya power keren buat mencungkil kesadaran kita. Apa yang telah terjadi pada homo socius di sekitar rumah kita, orang-orang di jalanan yang sekedar kita lalui, apa yang bergejolak di perkantoran bisnis sana, atau bahkan di wilayah kamar dan rumah kita sendiri. Contohnya? Ya karya Putu Wijaya tadi. Sebuah guratan keras, betapa cakar-cakar materialisme nancep dalem di tenggorokan publik! Tak ada lagi penghargaan bagi seorang guru, selain pujian kosong dan ucapan terima kasih saat perpisahan. Yuph, penghargaan kita (*ehem, ada yang keberatan aku make kata ganti kita?) terhadap profesi dan cita-cita lebih banyak setara dengan gaji dan prestise, dari pada segi kemanfaatan dan jasanya! Mata kita sering mentok di wujud, bukan hakikat! Saya yakin, yang digambarkan Putu tadi hanya seleret warna dari semesta realita yang sekarang sedang bergulir. Betapa idealisme tinggal kenangan. Orang-orang yang nekad mengusung idealisme, bisa dipastikan bakalan jadi mumi-mumi berjalan, aneh, puritan, dan nggak punya kekuatan.

Ehm, oh iyah.. ada lagi .. masih dari cerpen yang sama
: ... Kamu ini investasi untuk masa depan kami,...
Kata-kata ini nancep banget di kepala aku. Soalnya, beberapa waktu lalu aku baca buku tentang pernikahan githu deh, dan salah satu poin yang aku tangkep adalah haramnya menghalangi pernikahan seorang anak karena orang tua khawatir kehilangan hak atas harta yang dihasilkan anak, alias ga ditanggung lagi! (*huahaha.. Iiissss... ini kan ga nyambung banget?! Akh, no pe!)
Sebuah fenomena yang kerap akrab di sekitar kita, orang menunda pernikahan karena ingin membiayai adik, ortu, deelel.. dengan alasan ga bakal bisa bagi ’rezeki’nya.. (hiks, ga sekasar itu sih..) yah minimal jadi ga fokus gituh! Hm, bahkan (*katanya sih..) ada orang tua yang menganggap anak jadi investasi, yang bakal balas budi di hari tua mereka, yang.. yang .. hm, insyaAlloh semoga pasti tidak termasuk orang tua kita!

Setelah baca buku itu, aku ketohok banget! Emangnya kita yang ’ngambil’ dan ’bagi’ rezeki? Yaa Alloh.. selama ini ternyata aku sering banget khilaf.. yah, teruzterank aku salah satu oknum yang ’berencana’ nunda nikah coz pengen konsen ke keluarga dulu.. huwehehe.. cupet banget yah?! Yah, aku bersyukur sempat baca buku itu, juga sempat baca cerpen di atas. Hm, padahal kan kita cuma perantara rizki, ya tho?! So, dun worry bwt yang pengen nikah tapi masi punya tanggungan keluarga.. buka-buka Al-qur’an lagi degh.. J Loh-loh-loh.. kok aku jadi promosi nikah?!?!? Huwehehe.. mentang mentang masi jojoba neh!
(;P )

... karena anak adalah amanah yang musti dijaga, seikhlasnya, sekuatnya, sebaiknya.. (*maksudnye seikhlas-ikhlasnya, sekuat-kuatnya, sebaik- baiknya..)
Tak pantas dikotori dengan kilatan-kilatan motivasi duniawi...
Yaa Alloh ..moga Engkau beri hamba kemampuan, saat tiba giliranku nanti menikmati amanah itu! ...

(^*^ haha.. ih , pusing amat .. nikah aja belum! Ssst.. kan ga da larangan buat siap-siap.. mendidik diri sendiri .. ya tho?! ) sorry bwt yang pusing bacanya, dua tema dalam satu...

Sekre ’G’ – seupi euy... sedihnya ga nyempil DMM! Hikz, moga taun depan bisa..—
On phuyenk and penyok abiz rihlah + riyadhoh ga jelas..Sabtu, 11 Juni 2005 12:00:02 Wib

No comments: