Monday, March 19, 2012

Mario dan Luigi Makan Sotoji?

Entah mengapa begitu mendengar tentang soto jamur, yang mucul di kepala saya malah si duo plumber Mario Bros yang suka mukul-mukul jamur tea. Sungguh tak nyambung. Tapi begitulah adanya.

Suatu hari yang cerah (selalu cerah karena menghadap layar PC yang kebyar-kebyar), saya berkeliling dunia maya dan menemukan informasi mengenai lomba blog yang bertujuan untuk me-review produk Sotoji, soto jamur instan yang baru saja diluncurkan, guna meraih opini publik yang positif namun juga kritis. Dan di sinilah saya sekarang. Mencoba mengingat kembali sensasi tiga bungkus Sotoji yang telah musnah dari muka bumi karena ulah saya.


KEMASAN


Pertama melihat bungkusnya, yang saya cari adalah label halal MUI, dan langsung dapat! Setelah diterawang dan diraba (euleuh, kayak meriksa uang saja), ternyata bungkusnya asli. Asli membuat saya tertarik dengan material yang digunakan. Menurut penilaian saya, materialnya relatif tebal sehingga akan mampu menjaga kualitas makanan dan aman. Dari segi pilihan warna pun sangat menyegarkan mata.

Walaupun desainnya masih sangat "mainstream" bungkus mi instan, saya bisa membayangkan tumpukan Sotoji ini di rak supermarket, dan rasanya masih cukup "stand out" dibanding produk lain yang sejenis. Namun, alangkah sayangnya jika material kemasan yang bagus tadi hanya sekali pakai dan langsung dibuang. Kemasan bisa dibuat lebih menarik dan menantang, keluar dari pakem yang sudah umum. Kemasan juga bisa dijadikan media promosi dan positioning yang kuat.

Bayangkan jika Sotoji punya logo (siapa yang meragukan kesaktian apel bekas gigitan yang mengasosiakan gadget tercanggih, misalnya?) yang kuat dan tercantum dalam kemasan tersebut, katakanlah tokoh kartun berbentuk jamur yang khas. Atau alih-alih petunjuk cara memasak yang sudah umum dan mungkin tidak lagi dibaca konsumen karena sudah hafal di luar kepala, Sotoji menggunakan space tersebut untuk menghibur konsumen. Misal; komik dua kakak beradik yang berebut masak dan makan mi. Atau tuliskan, cara masak: Robek bungkusnya, keluarkan minya, lalu teriak, "Maaaaak... masakin Sotojiiiiiii...." Atau bisa juga diisi dengan tips dan resep berbahan dasar Sotoji. Atau, doronglah konsumen untuk hidup hirau hijau dengan memberi tips apa yang sebaiknya konsumen lakukan terhadap bungkus tersebut; mulai dari menggunakan kembali untuk crafting, lihat website tertentu untuk pengolahan limbah, dan lain sebagainya.

Memang hal ini memerlukan kreativitas dan investasi yang besar, namun, percayalah, dalam persaingan mi yang sangat ketat hal ini bisa menjadi nilai tambah yang luar biasa. Apalagi sebagai produk baru yang masuk ke pasar yang sudah padat, hal-hal mudah dan murah (dalam jangka panjang) yang bisa mencuri perhatian konsumen, adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan. Orang mungkin tidak akan membeli dan memakan mi karena kemasannya, tapi kemasan yang unik membuat orang berhenti untuk melihat produk baru tersebut. Kalau orang sudah melihat, orang akan mempertimbangkan akan mencobanya ataukah tidak. Kalau orang sudah mencoba, ini bisa menjadi jalan masuk untuk membuat orang menjadi pelanggan setia. (Hajuuuuh.. Sok tau banget ya katakecil ini. Tapi sungguh, inilah yang saya rasakan sebagai konsumen.)


Kemasan Sotoji memang sudah memiliki poka yoke yang memudahkan untuk dibuka, namun masih susah dicari. Usul saya, alih-alih berupa satu irisan atau sayatan, akan lebih terlihat jika berupa dua sayatan yang saling memotong dalam bentuk V. Terutama untuk kemasan bumbu minyak. Saya terpaksa menggunakan gunting untuk membukanya karena sulit dibuka dengan tangan kosong.


MI

Awalnya, begitu tahu Sotoji ini berupa mi putih, saya sempat down karena memang kurang suka dengan mi putih. Tapi setelah saya coba, ternyata ini bukan mi putih yang biasa. Teksturnya lebih kenyal, sehingga tidak mudah hancur. Sotoji juga tidak menyerap kuah (alasan mendasar mengapa saya tidak suka mi putih), namun tetap lunak dan tidak keras. Boleh dibilang, Sotoji adalah mi putih instan pertama yang membuat saya jatuh hati. Mi putih juga ternyata lebih "dingin" di perut.

Tekstur jamur dalam Sotoji sendiri cukup kenyal, sedikit mengingatkan saya pada rasa ayam. Memang, jamur mengandung glutamat alami yang memberi rasa gurih. Saya memasak jamurnya bersamaan atau setelah mi dimasukkan ke dalam air mendidih. Bagi Kawan yang tidak suka atau tidak bisa memakan yang terlalu liat, coba masukkan jamur terlebih dahulu dan tunggu 1-2 menit, baru masukkan mi agar teksturnya lebih lembut.


PORSI

Porsi yang dibuat oleh Sotoji sangat pas bagi saya, tidak terlalu banyak, juga tidak kurang. Apalagi tingkat kerapatan jamur terhadap mi, wuiiih, asoi! Tadinya saya pikir jamurnya akan seuprit seperti pada umumnya garnish mi: asal bisa diklaim rasa tertentu. Yang satu ini tidak. Dia total mengusung "kejamurannya".


RASA

Setelah jadi dan mencicip satu sendok, saya menyesal sekali mengapa tidak punya persediaan cabe dan jeruk untuk menambah mantabnya hidangan ini. Sungguh, ditambah irisan cabe merah dan asamnya perasan air jeruk, ini bisa menjadi mi yang sempurna untuk disantap saat hujan melanda. Rasa kuahnya sendiri, karena saya suka banyak kuah, tidak terlalu tajam. Padahal saya sudah menggunakan seluruh bumbu yang disediakan Sotoji. Biasanya, saya hanya memasukkan separuh bumbu mi yang saya makan. Bagi orang yang tidak suka asin dan rasa yang menyengat seperti saya, ini adalah berkah yang mensugesti saya bahwa mi ini kandungan MSG-nya rendah. Namun, bagi Kawan yang sangat suka asin, siap-siap saja menambahkan garam atau mengurangi jumlah airnya. Satu lagi yang saya suka dari mi ini adalah warna bumbunya yang mirip sekali dengan bubuk kunyit alami. Saya juga terbersin-bersin waktu tak sengaja menghirup bubuk cabenya; bau cabe kering asli! Bawang goreng sendiri tidak kasatmata dalam Sotoji karena sudah dicampur dalam minyak bumbu. Padahal saya berharap ada bawang goreng renyah yang bisa ditaburkan di atas mi.


Jika ada kekurangan yang cukup mengganggu saya dalam Sotoji, itu adalah tidak adanya sesuatu yang "kriuk" saat memakan mi ini. Jadi Kawan harus menyediakan sendiri pelengkapnya. Tahukah Kawan apa yang muncul pertama kali saat saya meliurkan (hush!) sesuatu yang kriuk itu? Sesuatu itu adalah kripik usus khas Malang, kota kelahiran saya. Atau kripik jamur tiram, khas Malang lagi. Atau kripik kentang. Atau keripik ubi yang asin. Wuduuuh.. Nyummyyy.. Mudah-mudahan ke depannya Sotoji bisa menambahkan pelengkap siap tabur ke dalam paket minya. Apalagi kalau rasanya dibuat lebih bervariasi. Saya sangat penasaran dan menunggu-nunggu Sotoji goreng. Kayak apa ya rasanya?


Di balik rasanya yang menggoda, ada satu misteri yang disimpan oleh soto eksotis ini: jangan tanya saya soal harga! Sungguh mati, saya sudah salto dan tiarap mengubek-ubek websitenya untuk tahu hal tersebut. Namun fakta itu tidak saya temukan juga. Akhirnya saya pun bersemedi dan meminta wangsit dari mBah Gugel yang Agung. Didapatkanlah gosip bahwa 1 dus isi 20 bungkus Sotoji bisa diboyong cukup dengan 60.000 perak saja, atau kalau per bungkus bisa dibandrol 3.500 perak. Murah? Nggak juga. Tapi worth it!

Mengapa saya bilang harga segitu mahal? Karena standar mi pada umumnya mentok di harga 1.700 perak. Mengapa saya bilang harga segitu worth it? Cobalah tengok label 100% produk Indonesia. Setahu saya, bahan baku mi kuning adalah gandum (which is, musti diimpor dari luar negeri) sedangkan bahan baku mi sohun dalam Sotoji ini (sejauh penelusuran saya) adalah kacang hijau, kemungkinan besar dari produk nasional. Jadi produk ini sehat bagi perekonomian nasional.

Warna soun yang putih bening dan tidak banyak mengembang mengindikasikan tidak adanya zat pewarna dan pengembang dalam mi ini. Hasil rebusannya pun bening dan tidak berminyak, sehingga saya tidak membuangnya. Dengan demikian, asumsi saya mi ini lebih aman dan sehat bagi tubuh. Dengan merangkum semua kelebihan yang saya tulis di atas, saya simpulkan harga yang dipatok tersebut adalah sangat pantas.


Bagaimana? Kawan tertarik untuk mencobanya? Jangan hanya ngiler, segeralah menjadi early adapter. Langsung saja meluncur ke website Sotoji atau mention twitter Bapak @rsugito atau @sotoji_. Tidak mau? Banyak-banyak do'ain saya menang lomba ini, kali aja saya mau berbagi hadiahnya bersama Kawan semua dengan mentraktir makan Sotoji. Kali aja lho.. Cuma kali... Makanya, buruan beli sendiri biar pasti... Pasti ketagihan!


Disclaimer:
Berhubung sudah kondangnya kedodolan saya dalam bidang fotografi, saya tidak ingin menurunkan citra Sotoji dengan hasil jepretan saya yang tergolong abstrak, jadi saya culik saja gambar-gambar di atas langsung dari website resmi Sotoji di http://sotoji.com. Semoga Sotoji berkenan.

Sunday, March 18, 2012

I Need Kagebunshin!

Again.
This feeling's kind of creepy.
This feeling..
When I look at my blog wall and stuck with this boring template

LOL

Oh God, when will I make time to overhaul this blog?

My New Passion?

Setelah lama membiarkan blog ini membatu dan memfosil (ciaah!) akhirnya saya ngidam nulis-nulis juga. Kali ini, tentang kegemaran baru saya di dunia per-make up-an. Eits, bukan berarti saya jago dandan lho ya? Justru sebaliknya. Sebagai katakecil yang telat puber (*sigh*), udah terkenal banget kalo saya ini orangnya selebor bin ajaib. Jangankan pake standar make up minimalis yang versi menjaga kesehatan kulit tea, pake bedak pun saya ogah! Tapi semua berubah sejak negara api menyerang (lho?).

Berawal dari tersandungnya saya pada salah satu merek lokal yang dikampanyekan dalam sebuah seminar kemuslimahan di kampus saya, saya pun mulai melirik kemungkinan bahwa di dunia ini ada makhluk bernama bedak. Ehem. Tapi melirik saja lho ya. Lalu, dua tahun kemudian (yup, Anda tidak salah baca!) saya pun mengikuti beauty class yang diadakan produsen tersebut. Dan mulailah minat terpendam saya menunjukkan batang ekornya. Ya, saya tertarik dengan dunia make up artist. Bukan hanya karena ingin, tapi juga karena butuh!

Butuh. Itu dia. Sebagai seorang dengan "pilihan-pilihan" khusus seperti saya (cara berbusana, cara berias, dst) saya membutuhkan "kebebasan berekspresi" yang sesuai dengan pilihan saya tersebut. Misal, saat suatu acara dan tidak ingin make up yang terlalu tebal tapi ternyata kepentok dengan make up artist berdarah seniman yang tak mau diganggu gugat; atau kita tidak mau mencabut alis tapi perias keukeuh sureukeuh mengatakan bahwa alis kita harus dipangkas demi keestetikaan nasional; atau kerudung kita disulap jadi bunga mawar.. (euh, bisa ya?) Ya, semua yang saya sebutkan itu adalah masalah nyata yang seringkali ditemui. Dan saya tidak mau mengalaminya.

Maka saya pun mencoba berbuat; kecil memang; dan baru untuk diri saya sendiri dulu. Hihi. Walaupun masih acakadut dan seringkali malas.. Setidaknya, saya mulai belajar untuk belajar (waduh, mbulet nya..). Saya mencoba belajar dari tutorial di YouTube ataupun blog yang membahas trik dan info tentang make up. Memang, paling simple dan mudah ternyata adalah dengan mengikuti jejak para blogger yang mendedikasikan dirinya terhadap dunia ini. Malah banyak di antaranya yang suka memberikan give away juga.. (silakan langsung meluncur ke blog LovelyLueLue, XiaoVee, atau DiaryofroductJunkie untuk mengetahui salah satunya).

Harus saya akui, dunia tata rias ternyata tidak semudah itu dipelajari. Tapi karena rasanay sudah menjadi bagian dari passion saya, (ya, ini adalah bentuk lain dari melukis! Pada kanvas yang super unik!) saya akan berusaha terus menapaki jalan ini. Ganbatte! Banzaaai..! *,* Hehe..

Yups, I found this interesting!

Follow my blog with Bloglovin