Lekat diingatan,
Bulu matanya yang pekat
Kerlip di dalamnya
Nyatakan betapa harta berharga kami !
====
...Satu dunia kecil, di lengkung cakrawala Kebon Bibit...
Yah, kayaknya udah terlalu sering aku sepotong-sepotong nyeletuk soal ’Ainan. Kali ini pun begitu. Terserah kalo teman bosan, tapi ini adalah subject yang dah lama banget ngendon di dasar kepalaku, dah sejak kapan yah? Pokoknya dah jadi sedimen yang susah diangkat ajah ;)
Jadi biarkan aku mulai bercerita...
Tentang seseorang
Wajahnya cakep. Bener. Rasanya, pasti banyak perempuan yang bakalan mau nungguin dia! Hehe.. (* Hm.. aku? Kayaknya nggak deh!) yah.. satu hal (*tapi bukan satu-satunya..) yang paling aku ingat, matanya! Mata itu. Jarnih, polos. Memproklamasikan ranah dunianya yang murni tak terjamah keruh kehidupan. Luas.
Pembawaannya sedikit beda dengan teman-temannya yang lain. Tak ada gejolak agresif untuk sekedar menyulut perkelahian kecil bersamakawan-kawannya. Tidak. Tenang. Bahkan terkadang aku melihat dia terlalu cepat matang, di banding usianya. Tak jarang mata kecilnya terusik, ada ketakutan di sana ketika bersirobok dengan mata-mata besar yang lainnya. Entah apa yang membuatnya begitu.
Tapi sosok imut dan lugunya, tak bisa menyembunyikan kecerdasannya yang (*bagiku...) sangat khas. Menyempil di pojok garasi, larut dengan tumpukan legonya, acuh saja pada teriakan dan aksi saling tonjok bocah sekitarnya. Baginya, yang ada di tangannya, itulah dunianya. Seolah ia menguasai tiap detil tanpa memberi kami sekedar celah untuk ikut terpercik keasyikannya. Bahkan, kadang ia marah kalo aku ikut-ikutan cerewet ngasih saran ini itu, apalagi ikut nimbrung dengan pekerjaannya. Menegaskan kekuasaannya. Bukan, bukan keangkuhan yang sedang dia bangun. Hanya sebuah kapal kecil, lengkap dengan polisi laut dan rumah di tepi pantai. Komponen-komponen yang berukuran cukup kecil dan proses yang rumit tak membuatnya putus asa. Hanya beberapa hari, proyeknya berhasil. Sementara untuk mengerjakan yang semacam itu, T’ Ses perlu seharian penuh. Sebuah prestasi yang cukup wah. Tiap kali kami melempar pertanyaan evaluatif, atau dalam cerdas cermat yang kami adakan, Ridar selalu menjawab dengan baik, walau nggak selalu benar. Yang jelas, melihat ketekunannya menyendiri mengerjakan bangunan legonya, mengingatkan pada sosok kecilku, dulu. :) ah, bukan apa-apa. Sejak dulu, aku lebih suka larut mengerjakan pekerjaan njlimet seorang diri, ato kalo enggak, baca di pojokan.. kadang terasing di tengah keriuhan...dan aku melihat sosok itu dalam diri Ridar.! Dan itu yang membuatku ’rela’ memperpanjang waktu kunjungannya. Bahkan, kalo aku siang kebetulan kuliah lowong, tak jarang sanggar aku buka juga. (*teman-teman asrama yang lain juga begitu..) Apalagi menjelang kepindahan kami, dia jadi semakin sering datang. ini memberiku kesempatan lebih untuk mengenalnya. Entah seperti apa keluarganya. Aku tak tahu.
Fajar, Fitri, Haldi, Tomi.. di antara yang rajin nyambangi sanggar. Dan saat perpisahan pun tiba. Hari menyedihkan untuk berpamitan dengan teman-teman kecil kami, guru-guru paling polos yang kami temui. Acara yang dikemas lumayan rame, karena ada games, kue-kue dan bingkisan kecil itu tetap terasa menyayat. Yah. Akhirnya, itulah acara terakhir kami dalam formasi terlengkap seperti itu. Bahkan T Achio dan T Yayu pun menyempatkan datang. Anak-anak berlarian ke sana kemari.. ribut.. penuh!!! Tapi kulihat wajah Ridar sendu saja. Mungkin hanya dia satu-satunya dari kalangan adek ’Ainan yang benar-benar menghayati apa arti paturay tineung. Apa yang akan terjadi besok pagi ketika gerbang garasi itu terkunci untuk seterusnya. Perpisahan. Dan matanya mengabut. Apapun yang kami lakukan untuk membujuknya sama sekali tak berguna. Ah.. melihat cahaya dalam lensa mata itu, membuat setitik yang pernah ada di sanggar ini nampak begitu berharga.. dan ku akui aku bahagia mengetahuinya! Bukan! Bukan aku senang melihatnya bersedih.. tapi.. sungguh dua tahun adalah waktu yang cukup untuk menyadari betapa menunaikan amanah menjaga dan menyemai anak-anak adalah sebuah tanggung jawab yang .. subhanalloh!! Berat! Dan itu pelajaran yang sungguh berharga! Bisa menangis dan tertawa bersama mereka adalah karunia yang tak pernah bisa dinilai!
Dan begitulah Ridar di hari itu. Hari terakhir ’Ainan. Duduk di atas bangku tinggi alas mengecat, membisu. Matanya yang biasanya jernih memerah, mebuat kami bingung mencari tau apa gerangan sebabnya. Ah.. bahkan ketika aku mengambil fotonya, ia tetap tak tersenyum! Biarlah kenangan itu terus melekat ....
Saat semua orang sudah pulang, ia masih tinggal. Kulihat matanya berkaca-kaca. Segala perkataan kami tak menghiburnya. Karena, mungkin, kami sendiri pun merasa yang dia rasa. Saat dia bicara tentang lego, rasanya aku teriris. Responsif, salah seorang teteh mengambil beberapa potong untuknya,. tak cukup banyak untuk membentuk apapun. Ingin rasanya memberikan semuanya. Tapi kami tak punya wewenang. Biarlah. Biar kenangan itu tetap hidup. Tak seperti kenangan Torey Hayden dan anak-anak bimbingannya, mungkin. Tak seperti cerita Sheila memang. Tapi tetap saja.
Adik bernama Ridar itu, adalah harta berharga, seperti ia menganggap kami (*semoga..)
Akankah kami menutup gerbang itu tanpa pernah sekedar menengok dan mengawal, para ksatria kami..?!?!
====
maafkan teteh, ya Dek!!
Moga Alloh mengukirmu jadi permataNYA yang shalih!
*paturay tineung = sayonara in Sundanese, hikzz...
No comments:
Post a Comment