Wednesday, May 23, 2012

Satu hal tentang twitter

Satu hal tentang twitter.
Menengok lini masa, dan berderetnya cuap-cuapan saya, terpentang betapa mudahnya sebuah kata tercipta. Dari letikan ide yang mencuat jadi ketikan pendek. Ruangnya terbatas oleh 140 karakter, namun toh nyatanya sambung menyambung menjadi rangkaian cerita. Cerita implisit tentang hidup si saya. Dan para tweeps mania lainnya.

Satu hal tentang twitter.
Dia mengingatkan saya. Pada sepasang makhluk yang tak henti-hentinya mencatat amal kita: lebih rapat dari update status twitter, lebih detail dan panjang karena menembus batas 140 karakter, dan.. tak mengenal RT maupun delete. Ah.. Sepasang makhluk itu..

Satu hal tentang twitter.
Sekarang jika kulihat lini masa.
Aku teringat catatan amalku, kawan..


Sunday, May 20, 2012

Selarik Salju Turun di Jakarta Siang Itu



Ini adalah hari yang biasa di tempat yang biasa bagi biasanya orang. Tapi bagi saya hari itu agaknya cukup luar biasa, karena perjalanan saya ke Jakarta kali ini lain dari biasanya. Setelah serangkaian keunikan yang akan saya kisahkan dalam note lain di blog ini juga, rasanya kejadian inilah yang paling berkesan bagi saya.

Setiap kali naik Bus Patas 76 rute Ciputat-Pasar Senen, pada siang hari di daerah Fatmawati, ada seorang pedagang asongan yang naik menjajakan dagangannya: permen jahe Sari Wangi, kacang atom, permen asam, dan entah apa lagi saya lupa; yang jelas semuanya adalah produk industri rumah tangga. Menyalahi kebiasaan saya yang suka merasa terganggu jika ada pedagang yang menawarkan dagangan di dalam angkutan umum, akhir-akhir ini saya berusaha lebih memperhatikan dan berusaha membeli jika ada yang sesuai dengan kehendak hati saya. Namun, seringnya hanya berhenti di “memperhatikan”, karena saya suka merasa sulit untuk memulai transaksi dengan mereka (Douuh! Antisosial banget dah!) Padahal ingin sekali saya ikut menjadi jalan rezeki bagi mereka dan industri lokal kita. Entah angin apa yang merasuki saya waktu itu. Tiba-tiba saya memutuskan untuk membeli salah satu jualan Abang itu. Kacang atomnya lebih mirip kacang madu daripada kacang atom yang biasa saya temui di Bandung. Rasanya tidak mengecewakan, sehingga saya menyimpulkan lain kali saya akan melakukan pembelian ulang. Dan hari pun berlalu.

Kesempatan lain itu datang di hari yang aneh itu. Setelah “seharian” disuguhi berbagai macam pengamen, eh, pedagang asongan berseragam hijau itu pun naik lah. Saya sendiri tidak tahu apakah ini pedagang yang sama dengan yang sebelumnya, ataukah jualannya saja yang sama. Yang jelas saya pun membeli lagi, kali ini sebungkus permen jahe dan sebungkus kacang atom. Setelah menimbang-nimbang, terbit sebuah ide dalam hati saya. Alangkah lebih berat dan mulianya jalan orang-orang yang menjaga dirinya dari meminta-minta dalam bentuk sehalus apapun. Yang rela bekerja keras demi rezeki kecil nan berkah. Atas nama harga diri, kehormatan, atau apapun. Dan Islam sangat menghormati orang-orang yang menjaga izzah-nya tersebut. Saya sendiri bukanlah orang yang sanggup seperti itu. Belum bisa, lebih tepatnya. Karena itulah saya sangat mengagumi mereka.

Dan terbitlah ide itu. Pada para pengamen tadi, saya bisa memberi sejumlah uang yang menurut saya cukup besar untuk ukuran katakecil seperti saya, tanpa ia harus bekerja sekeras itu. Masak iya untuk pedagang yang bekerja keras seperti itu saya tidak ingin melakukan sesuatu? Maka saya menambahkan satu lembar uang seribu rupiah dalam lembaran jumlah yang seharusnya saya bayar, yang kemudian saya gulung sedemikian rupa sehingga semuanya menjadi satu kesatuan. Benar Kawan, itu jumlah yang tidak ada apa-apanya bagi sebagian besar kita. Tapi itulah yang saya putuskan akan saya sisipkan saat itu. Saat menyerahkannya, saya berharap Abang itu tidak sempat membuka dan menghitungnya. Sungguh, saya tidak ingin menyakiti harga diri beliau. Dan benar saja, ketika beliau mengambil dagangannya, karena agak buru-buru, beliau langsung mengambil tanpa menghitungnya. Saya tersenyum bersyukur. Saya pikir beliau tidak akan mengetahuinya, kalaupun tahu, pastinya setelah menghitung total penjualan di ujung hari.

Iya, saya pikir beliau telah turun dari bus ketika tiba-tiba beliau kembali dan menyodorkan uang seribu kucel tadi seraya berkata: “Mbak yang tadi beli kan? Uangnya lebih, Mbak!” Sungguh saya kehabisan kata dan hanya bisa menerima kembali uang tadi seraya tersenyum dengan pikiran kacau. Oh sungguh, selarik salju telah turun di Jakarta siang itu. Untuk saya. Karena telah bertemu dengan spesies manusia langka di rimba Jakarta ini. Berlebihankah saya? Rasanya tidak. Tengoklah kelakuan orang-orang yang bertindak aneh-aneh hingga sanggup menipu, memeras, dan semua kata gelap lainnya: demi selembar dua yang tak seberapa nilainya. Kebaikan masih ada di Jakarta. Kejujuran yang setitik itu, semoga kan jadi bara yang menularkan nyala bagi sebanyak-banyak jiwa. Hingga semoga kelak, akan teranglah kota ini.

Ah, seperti biasa saya lebay. Tapi izinkahlah saya yang lebay ini meminta tolong padamu, Kawan.. Jika satu kesempatan kalian lihat yang seperti beliau, tolong belilah dagangannya. Walaupun hanya sebiji. Karena semua yang pernah dalam kesulitan yang pekat gelap sempurna tahu artinya sebintik bara harapan. Benar, Kawan. Sebintik saja.. Itu cukup untuk membuatmu, membuatku, membuat kita melangkah sekali lagi.. Berjuang lagi.. Jangan sampai ada yang berkata: “Kebaikan telah hilang dari dada umat ini…”



>> Ditulis ngacrut dalam jam kerja Jumat ini. Duh. Korupsi ==” Diedit ntar-ntar kalau sudah ada azzam, haha..