Friday, October 22, 2004

Mencari Sahabat

Mencari sahabat

Telah berabad aku mengarungi sebagian umurku. Aku tak tahu tinggal berapa lama lagi sisa usiaku. Aku hanya tahu satu hal. Kalau pagi ini mentari masih tersenyum padaku, itu artinya aku masih Dia beri satu hari baru. Ah, aku tak tahu. Apakah hari ini aku akan menemukan sesuatu yang baru, atau hanya repetisi-repetisi seperti hari-hari silam. Tersingkir di pojok waktu, terkulai tak kuasa berseru, inilah aku……

Lalu daun-daun kelapa menyapa dengan lambaiannya yang lembut. Ia tak ingin mengoyak jubah sang angin. Anggun menarikan jerit pilu kumbang musim panas. Huuh.. bahkan ia pun enggan menjadi temanku. Karena teman bukan yang menyapa dengan lambaian tangan. Teman adalah yang menyapa hati dengan senyuman embun pagi ...

Alam bergulir. Awan merayapi langit. Ia bertanya, apa yang aku mau dengan tangisku. Aku menggigil. Apa yang aku mau?!? Entahlah, aku hanya sedih. Bahkan awan pun bukan kawan. Karena kawan tidak akan pernah bertanya apa yang kita inginkan. Kawan menyediakan bahu saat harapan terbang direbut prahara. Memeluk segala kesedihan kita, melebihi eratnya nyawa….

Gerimis, ia tak datang. Tak ada salam, tak ada kabar. Haruskah kucoret namanya dari lembar buku hatiku? Dan mencela dunia… ia bukan sahabat! Karena kerinduan sahabat melintasi ruang dan waktu, bahkan saat raga tak lagi meraga… karena kangen seorang sahabat adalah gerbang tanpa pintu…

Ah.. wangi tanah, hampir lupa aku pada sukmamu. Cair mengambang kala hujan menerpa, kiriman kecil dari istana di bawah bumi. Sebuah tanda cinta. Sebuah refleksi. Tangan yang terbuka. Hati bernyanyi. Laksana kidung surgawi. Tapi karib bukan urusan wangi, karib bukan sekedar materi. Karib adalah mengenal tiap jengkal busuknya, lalu menghirupnya dalam-dalam, dalam diam… dalam kelam…

Biar ku goyangkan dahan-dahan. Biar gugur dedaunan. Biar rasa… segala resah yang kau cipta… tapi bukan sejawat, yang inginkan kau celaka… sejawat adalah yang merawat luka, menyiratkan asa. Bukan menyayat duka….

Lalu kemana Adinda mencari, seorang sahabat sejati. Cukup seorang sahabat hakiki. Untuk melintasi seratus zaman. Cukup seorang sahabat abadi. Cukup seorang sahabat. Tak perlu embel-embel tersuci. Datang dengan tangan hampa, tapi jiwa terbuka. Jiwa bagai ladang yang mengayomi putik muda. Jiwa bagai lembah penuh bunga dan kelinci liar….

Ke mana pencarian ini kan bermuara. Sebait do’aku berbalas secawan rindu.. Aku telisik lembaran kalam cintaNya.. Kucari sebuah nama, cukup sepotong saja. Aku kecewa, bahkan satu huruf pun tak terukir di sana..

Semilir harapan melenakan penat jiwa. Penantian ini tak tahu di mana ujungnya. Hingga… Samudera menjelma tangan-tangan gelombang , riuh berebut menarikku ke dekapannya.. Aku miskin tenaga.. Merekakah yang aku cari? Yang memberi arti penerimaan sejati? Hiruk pikuk apa ini? Kawankah yang menjunjungku tinggi-tinggi? Aku meluap.. Ombak yang bergulung di hatiku lebih menggila. Sebelum badai ini sempat kumaknai, aku telah terkapar.. Terbanting di tebing karang… O.. topan kehidupan, aku tahu tak kan bisa lagi percaya pada hangat tangan yang menjabat….

Aku tertatih, mendaki undak ke puncak, tempat paling tinggi tuk puaskan dahaga mataku.. Tak ada sinar memancar dari jubahmu.. Tak ada bulan terbelah di ujung jemarimu.. Tak ada tongkatmu yang memakan ular-ular Fir’aun.. lalu bagaimana aku mengenalimu dari puncak kesombonganku ini? Tahtaku tak jadi tempat semayam bagi jiwa resahku… Aku kehilangan sabda sakti…

Orok masih merah. Bening tangisnya merogoh titik kulminasi pencarian yang bersarang di kantong batin.. Penolakannya .. Kepedihannya.. Inikah sahabat yang dikirimkan??? Lemah .. Tanpa tendensi.. Kenaifan sempurna…

Aku hanya terpaku.. Terperangkap dalam monolog sunyiku.. Tak ada tangis, tak ada tawa.. Pencarian ini sia belaka..

















No comments: