Saturday, October 23, 2004

Aku Menikmatinya

Wednesday, October 20, 20047:50:23 PM

Aku mungkin sering mengeluh, atau seenggak-enggaknya ngerasa nggak puas, kalo ngebandingin apa yang aku peroleh dengan apa yang udah aku lakuin. Kadang aku merasa itu kurang adil. Untuk pengorbanan yang udah aku lakukan, aku berhak untuk dapat yang lebih dong, gitu kira-kira yang ada di pikiranku. Tapi, … pada suatu hari… yang bertepatan dengan hari aku tuliskan catatan ini, aku ngalamin sesuatu yang membuatku ngerasa beda. Bahwa ada yang lain yang kudu kita menangkan : diri kita sendiri. Ceritanya gini. Kan aku punya adik les. Nah, kemaren, adikku ini ulang tahun. Jadi, sebagai sebuah tanda kasih sayang (ciee… naon seeh) aku berniat memberinya sesuatu yang bermanfaat buat dia. Dan pilihanku pun jatuh pada sebuah buku yang menurut aku cukup oke. Yup, karena dah nggak keburu waktu lagi, aku bawa juga biarpun dengan kemasan yang seadanya. Tuk tik tok… waktu berjalan. Di sela-sela acara belajar, kami ngobrol sedikit-sedikit soal acara milad alias ultahnya kemaren. Dan… secara nggak sengaja, pas lagi buka puasa bareng, dengan gembiranya dia cerita kalo dapet kado dari temen-temennya. Dia mendapat beberapa buku islami yang memang dah lama pengen dia koleksi. Salah satu di antaranya, adalah buku yang dah aku bungkus dan aku taruh dalam tasku. Ya 4JJ1.. rasanya… huiks.. nggak tahu deh… Aku jadi ragu-ragu. Mau terus maju, ngasihin buku yang sebenarnya dia dah nggak butuh, atau bawa balik aja dengan resiko dia merasa aku nggak menganggap hari jadinya sebagai hari yang penting. Dua-duanya sama, bikin pusing. Hm, pikir punya pikir, aku jadi berpendapat, mungkin lain kali aja aku ngasih dia hadiah. Toh masih banyak moment. Lagian buku ini juga insyaAlloh pasti masih banyak yang mau (hehe..). Tapi… Pas dia ngasih uang les buat minggu ini, uangnya terlalu besar. (Bukan kertasnya lho.. tapi nominalnya..). Dia berkeras suapaya aku ambil saja kelebihannya. Tapi hatiku berkata jangan. Aku rasa kami dah punya komitmen soal ini. Dan aku nggak mau terbiasa dengan sesuatu yang dengan gampang diperoleh. Sesuatu yang abu-abu. Meskipun aku tahu dia benar-benar ikhlas. Huiks.. aku segera ngerogoh tasku. Nyari-nyari kembalian. Harus segera. Soalnya aku nggak mau niatku melenceng, soalnya tawarannya kian menggoda. Aku jadi teringat kasusnya temanku dengan orang bea cukai. Hikz. Itu nggak enak banget. Dan aku nggak ngalamin yang kayak gituh. Makanya, aku bersyukur banget pas ketemu si kertas ijo yang nyelip dalam kotak pensil, diantara disket-disketku. Pfuuh.. lolos dari godaan, tapi hati belum bisa lega. Soalnya tanganku nggak sengaja nyentuh bungkusan kado tadi. Ehm, kasihin.. jangan.. kasihin.. jangan… Akhirnya, spontan aja, tahu tahu aku dah ngeluarin buku itu dan caz ciz cuz.. aku pun minta maaf soalnya bla bla bla.. hehe, salahku sendiri sih ngapain ngado orang kok buku yang bestseller. Kan resiko kejadian kayak gininya kan gede. Tapi, dengan bijaknya (atau hanya untuk nyenengin aku?!? Ehm, I don’t know and I don’t really care..) Adik lesku bilang, dia seneng aja. Soalnya, punya dua kan bisa lebih manfaat, kali aja ada temennya yang juga mau minjem. Aha, bener juga, meski aku nggak yakin. Anyway, at least, I do what I wanna do. Sementara, masih juga nyelip perasaan nggak bener soal uang tambahan tadi. Hm, bukannya aku memang pengen duit tambahan. Napa nolak? Dan aku bersyukur dah nolak cepet-cepet. Kalo nggak, aku nggak tahu apakah idealismu masih bakal menang kalo bisikan-bisikan kiri kayak gini mulai menggelombang. Dan aku mulai lagi dari awal. Berpikir tentang apa yang sudah aku beri, aku lakukan. Sekedar membandingkan dengan apa yang sudah aku peroleh. Benarkah uang yang jadi tolok ukur segala yang aku lakukan, dari dan untuk dia? Oo.. alangkah sempitnya. Bukankah selama ini keluarganya selalu baik padaku. Setiap kali aku datang dan disambut dengan senyum, bisakah itu diganti dengan duit? Atau kayak tadi, selalu diajak makan bareng. Atau setidaknya ngobrol sedikit-sedikit soal keluarga, soal kampung halaman. Dan bisakah itu ditukar dengan uang? Setiap kali dengan merepotkannya selalu disediain minum, bisakah itu dinilai dengan kertas sakti? Setiap kali aku makai air dan ikut sholat di sana, bisakah itu dikonversi dengan rupiah? Senyum adik lesku tiap kali berhasil nyelesaiin PRnya yang berat, bisakah disubstitusi dengan duit? Jabat tangan dan salam perpisahan ketika kakiku meninggalkan teras rumahnya, bisakah ditukar dengan duit? Setiap bentuk perhatian mereka, bisakah diganti dengan… Oo.. alangkah sempitnya yang aku rasa selama ini. Dan aku mulai melihat. Melihat ke depan. Tentang apa yang aku dapatkan selama ini. Bahwa ada yang aku menangkan. Apalah artinya sedikit uang tambahan kalo ternyata itu merubah citraku di mata adikku sendiri. Apalah artinya selembar kertas yang bakal habis sekali jalan kalo itu malah mendidik aku jadi pencoleng. Pencoleng komitmenku sendiri. Dan aku senang. Aku menikmatinya. Menikmati kemenanganku, tak peduli apakah 4JJ1 mencatatnya sebagai amal baik ataukah amal yang sia-sia. Sia? Pertamanya karena kurang ikhlas, masih sempat kepikiran. Keduanya karena menceritakan ini padamu. Karena aku senang, aku jadi bisa melihat banyak hal lagi. Mungkin benar kata temennya temenku, kalo sesungguhnya amal itu bersaudara. Amal baik bakal melahirkan amal baik yang lain, dan begitu sebaliknya. Aku bisa melihat apa yang selama ini aku lihat ketika pulang pergi ngajar, tapi selalu berlalu tanpa kesan. Tentang orang-orang yang masih berkeliaran bahkan disaat matahari yang garang pun sudah beristirahat. Tentang antrian pembeli es shanghai. Tentang toko-toko yang gelap. Tentang sudut pasar yang mati. Tentang penjual rokok yang termenung. Tentang aspal yang kian hitam, tentang perempuan cantik. Tentang kompor penjual gorengan. Tentang tumpukan plastik berisi kolak candil. Buah-buahan yang tergeletak, cuek dan dicuekin. Tentang … orang yang mengamati dari jendela angkot. Ya, tentang mereka semua. Tentang orang-orang yang berkeliaran dengan baju butut, menjajakan keringat mereka yang mungkin sudah waktunya kering dan diisi ulang. tentang bagaimana rasanya menjadi bagian dari emper toko yang gelap, menghempaskan kepala di lantai tanpa kasur. Orang-orang lalu lalang tanpa menganggapmu. Tentang sudut pasar yang mati, yang mungkin akan dijadikan pelarian orang-orang yang ketika siang menyala berjajar di bawah lampu merah. Rambut kusut, wajah dekil, kecrekan yang tak punya irama, perut yang tipis, suara sember, harga diri yang … Bagaimana harus menjalani hidup sebagai mereka. Tentang kesah penjual rokok yang mungkin dagangannya hari ini nggak cukup memberi anak mereka sekedar duit espepe. Tentang aspal hitam yang mungkin bersenandung tentang berapa persen saudara mereka yang masuk perut orang-orang berhati jelaga. Tentang perempuan cantik yang merelakan pundaknya jadi sandaran tangan asing. Tentang lelaki muda berwajah keruh, yang mungkin menanti kekasihnya yang tak akan pernah datang. Tentang kompor Akang penjual gorengan yang sudah dua kali menggoreng pisang yang sama. Tentang perasaan ibu pembuat kolak candil yang mungkin besok pagi jadi kian kental dan masam, kalo malam ini dagangannya nggak laku. Tentang mangga, jeruk, dan apel lokal yang tiap jam tambah layu. Tentang … aku. Yang hanya bisa memandang mereka. Tak punya keberanian untuk menawarkan diri, menggantikan peran mereka. Tak punya kekuatan buat mengangkat mereka. Dan aku melihatnya. Melihat betapa banyak yang aku dapatkan. Betapa banyak yang aku menangkan, tanpa denting kerincing yang bernama uang. Betapa banyak yang aku punyai. Hanya dengan melihat mereka yang tak seberuntung diriku. Betapa banyak yang ada ditanganku, kalo aku menghargai keramahan senyum orang-orang di hadapanku. Betapa banyak yang aku miliki dengan mencecap perasaan bersaudara. Merasakan rumah, mungkin bukan buatku. Setidaknya, rumah bagi harapan-harapanku. Juga kesadaran bahwa, ada yang mengalir di luar sana saat kita lelap bermanja pada mimpi-mimpi kita. Ada yang menggadaikan peluhnya saat itu. Ada yang ah,.. tak terkatakan. Mungkin agak melenceng kalo ini dihubungkan dengan memenangkan diri sendiri. Bener, makin tahu siapa dan apa aku ini, aku makin nyadar kalo aku tuh belum ngelakuin apa-apa. Dan itu membuatku lebih kuat buat memenangkan diriku sendiri, merebut sisa takdir.. sesuatu yang abadi dan menunggu di limit sana. Tapi yang jelas, aku menikmatinya.

*# Selamat milad Vi, makasih cake coklatnya… Thanks tuk semuanya yang tak terbalas… Moga 4JJ1 mudahkan jalanmu tuk gapai cita Amin

No comments: