/* Prasasti Sebuah Pencarian dalam Pelarian
Tahu enggak apa yang aku lihat dalam perjalanan pulangku ini? Banyak ! Banyaaaak banget! Bahkan sebelum berangkat aja, udah ‘aneh’. Aku hampir-hampir ketinggalan kereta karena kelamaan ngenet..
Lagi-lagi aku duduk bersebelahan dengan seorang ibu muda. Kali ini dengan anaknya yang masih berumur dua tahunan. Lucu banget.
Kereta meninggalkan stasiun Bandung tepet pukul 17.00 WIB (tumben !). Yup ! Itu yang pertama. Langit cerah. Sekelompok awan putih menggumpal, memanjang laksana naga yang membelitkan ekornya ke bukit. Di bagian langit yang lain, awan gelap tak malu-malu membentuk fraksi baru, mengusung warna jingga .. Kelam … Membuat ngilu yang memandang, namun indah..
Kereta bergerak amat perlahan, sampai-sampai aku tidak merasa kalau dia berjalan. Baru setelah jauh meninggalkan stasiun, goncangan mulai membuat badan tak nyaman. Tapi langitnya indah sekali.. Biru terang. Ada seribu layang-layang dimainkan bocah-bocah, menghias keluasan yang seolah tanpa batas. Ladang terhampar. Batang padi yang lembut baru ditanam. Rapi berbaris, seperti prajurit perwira yang siap menuju medan laga.
Kereta kian memisahkan diri dari padatnya Bandung. Aku terkejut ketika tiba-tiba mataku menumbuk bola kristal yang menggantung di langit tanpa tali. Bulan perak belum bulat sempurna, tapi cukup bulat seperti bola kristal para penyihir. Padahal hari masih terang, tapi bulan itu sudah tak sabar menantang malam. Sedikit demi sedikit, tanpa aku sadari, suasana semakin kelam hingga jurang maupun sungai yang membayang di bawah nampak gelap menakutkan. Tapi keren juga, membentuk siluet lembut. Bunga kemuning yang tadinya nampak mencolok di tebing-tebing bukit kini tak nampak lagi, digantikan butir-butir bintang yang berkelip malu-malu. Aku jadi ingat syair lagunya ‘Air’ … Bintang di langit kerlip engkau di sana, memberikan cahaya di setiap insan. Malam yang dingin kuharap engkau datang membawa kerinduan di sela mimpi-mimpinya.. Oh bintang tolonglah.. terangi langkahku malam ini.. Yup, begitulah. Jendela kereta yang terbuka membuatku tak sabar untuk tidak mengintip para penjaga langit. Aku biarkan tanganku menggapai keluar lewat celah-celah jendela. Angin menghalau kalor dengan cepat, menciptakan kesejukan khas yang telah lama aku rindukan.
Kenapa aku milih naik kereta daripada naik bus malam yang jelas lebih aman dan nyaman ( di luar pertimbangan harga tiketnya yang hanya 2/3 nya tiket bus) adalah karena kereta lebih sakti daripada bus !! Lihat saja, kalo kereta lewat, semua pada diem, berenti dulu. Rasanya keren juga kalo orang-orang pada pada berenti nungguin kita lewat .. hehe. Sebelnya, kipas anginnya ga dinyalain, udah itu ada yang ngerokok lagi. Bikin kesel.. ga bisa nafas.
Kereta berhenti di stasiun <>. Terdengar gedoran peminta-minta di jendela, juga teriakan para penjual asongan. Aku tak tahu ini tepatnya jam berapa, yang jelas malam sudah larut. Tapi, di luar masih kulihat anak-anak berlarian menyongsong kereta, mengharap sekeping dua keping koin… Sudah semalam ini !! Tiba-tiba aku merasa malu, dengan ketidakbersyukuranku selama ini. Sementara orang-orang yang kurang beruntung itu terus menawarkan dagangannya. Ibu-ibu penjual nasi bungkus, bapak-bapak yang mengusung setumpuk hasil kerajinan tangan, mas-mas yang menjajakan suaranya.. Ehm, tapi ada yang aneh! Oh, aku baru sadar kalau mereka hanya berani berteriak-teriak dari luar jendela dan sambungan kereta, tanpa bisa masuk atau berkeliaran ke dalam gerbong. Kenapa ya? Di satu sisi aku senang, suasana jadi lebih aman, tidak terganggu pedagang-pedagang yang suka seenaknya menawarkan dan menaruh dagangannya. Tapi di sisi lain, aku tidak tega melihatnya.. Pendapatan mereka yang sejak awal sudah kecil pasti akan lebih berkurang lagi, karena transaksi hanya dilakukan lewat jendela.. Ah, entah apa yang memberi mereka kekuatan untuk tetap melawan arus hidup ini. Apa yang memberi mereka harapan untuk terus dan terus berteriak.. melawan kebosanan mereka sendiri .. Energi mereka yang … subhanallah… seolah tanpa batas..sedang aku yang lebih beruntung dari mereka lebih sering mengeluh ..
Aku jadi ingat kejadian di kampusku. Mulai hari ini, 1 Juni 2004 pada pedagang kaki lima dilarang berjualan di kampus maupun area sekitar kampus, dengan alasan ketertiban, keindahan, bla bla bla.. Tadi saat aku berangkat, ada aksi di depan rektorat untuk menentang kebijakan ini.
Suara beban kereta yang beradu dengan rel membentuk keriuhan khas yang timbul tenggelam. Susah payah aku berusaha menggoreskan pensilku untuk menuliskan setiap yang aku lihat, mengikuti badan yang sebentar-sebentar oleng ke kanan dan ke kiri, terbawa guncangan kereta.
Aku teringat wajah gadis cilik di stasiun tadi, ia menengadahkan tangan mungilnya. Aku yakin, dia tidak sendiri. Mungkin ada belasan, atau malah puluhan anak-anak sebayanya yang juga tengah merampok keluguannya. Menukarnya dengan recehan. Atau gedoran kesal di jendela, plus umpat maki. sinar lampu kuning berkelebatan menerangi catatan ini, memendarkan warna kekuningan. Barisan mobil dan kendaraan lainnya tampak memanjang, terlihat dari lampunya yang membnetuk barisan panjang. Bapak setengah umur dan istrinya (kurasa) yang duduk di bangku depanku nampak sibuk membenahi selimutnya. Derap kereta terdengar lebih lembut, tanpa goncangan (nyaris!). Bocah cilik yang duduk di sebelahku sibuk dengan saputangannya, entah miliknya sendiri atau punya ibunya. Tadinya ia membaca bukunya Enid Blyton yang aku pinjamkan. Tapi ia nampak bosan, lalu dikembalikannya. Ia juga menolak saat aku tawari Donal Bebek. Buku Berkawan Matahari yang sejak tadi hanya kupegang-pegang saja, tanpa bisa kubaca akhirnya aku masukkan juga dalam tas. Malas. Ah.. tiba-tiba aku tergerak untuk meneruskan catatan ini. Maka jadilah..! Awalnya aku tergelitik untuk membandingkan fenomena-fenomena di atas. Ada nggak ya pedagang kayak gitu di Jepang? Kereta lagi-lagi berhenti. Wah.. kali ini pedagang-pedagang itu bisa masuk dengan leluasa. Sementara jendela pun tak luput dari gedoran-gedoran. Memaksa dan menakutkan..
Aku melihat energi hidup yang sebenarnya. Lagi-lagi aku merasa malu dengan segala kepengecutanku, kemalasanku, dan… ku. Aku berdiri. Kulihat keragaman penghuni gerbong ini. Pedagang asongan berkeliaran, mengais rezekinya. Tak bosan-bosannya menawarkan koran, air, hiasan .. ah entah apalagi. Layaknya pasar berjalan saja. Irama khas stasiun kembali berdentang menandakan kereta akan kembali diberangkatkan. Mereka menawarkan dagangannya untuk terakhirkalinya. Ah.. seperti gelombang yang datang dan pergi saja mereka itu.
Hawa tidak terasa dingin, tidak gerah juga, hanya sesak oleh asap rokok. Aku benci sekali. Dari kursi ke dua di depanku tampak asap mengepul, seperti isyarat suku indian saja. Menyebalkan. Tak peduli ada anak kecil yang mau tak mau harus menyimpan karsinogen dalam paru-parunya yang masih bersih. Dua orang petugas berkeliling mengambil uang sewa bantal dan selimut. Ehm, kalo di bus sih gratis (hehe.. nggak gratis juga sih, udah termasuk biaya). Tapi, kalo di bus ga bisa lihat tukang jual kacang, de el el. Kalau aku amati, minuman botol yang dijual pedagang asongan itu sekitar Rp 2.000,- Bandingkan dengan air minum yang aku beli di minimarket yang harganya Rp.1100,-an. Mereka toh nggak bakalan kaya dengan mengambil untung 80% itu.
Rabu, 2 Juni 2004
Yup! Matahari yang bulat kemerahan menambah indah suasana pagi yang berkabut. Tanpa kusadari, ketika aku menatap ke langit lagi, matahari sudah sangat garang. Kereta melambat, dan…
“ Ha..?? Gubeenggg?? “ . Aku pun terkejut. Harusnya aku turun di stasiun Wonokromo. Nggak tahu apa akunya yang ketiduran, atau keretanya yang tak berhenti di sana, yang jelas kereta dah nyampe Gubeng jam 6.30 WIB (tumben juga, lumayan on time). Yup, aku keluar dari stasiun. Untunglah calo-calo tidak terlalu ‘ganas’ , cukup dengan satu kata tidak mereka sudah menyerah. Biasanya sih..
Bingung aku, nggak tahu what to do. Nggak tahu arah. Dulu sudah pernah ke sini sih, tapi lewat sisi yang satunya lagi. Tapi seperti biasanya kalau aku nyasar, menenangkan diri dulu. Jadi aku menenangkan diri dulu yah..Bye... Hehe.. To be continued, InsyaAlloh