thanks to freeda yang udah bermurah hati mau memakai desain dudul saya.. dan thanks to mas-mas yang nyeting gambar yang bersangkutan menjadi sedemikian ini ;p
yows.. walaupun saya nggak kebagian pinnya U-U
Michael Crichton lagi..
Hehe, udah lama banget bacanya.
Jadi lupa euy.
Halah..
Oke, ayo kita gosipin om MC dulu.
Sejujurnya, saya (*overloaded with prejudice*) seringkali menaruh ‘buku-buku’ fiksi MC yang berbau ‘fantasi’ di daftar terbawah prioritas baca saya (*relatif terhadap buku sejenis MC lho ya, hohoho.. kalo terhadap yang lain sih, tetap yang teratas lah..*). Sebutlah The Lost World, Jurassic Park, termasuk Timeline ini! Yow. Saya adalah tipe orang yang tidak bisa (*apa tidak suka?*) membaca buku ‘fantasi’ yang tidak punya dasar logika yang kuat. Mungkin ini alasan terbesar kenapa saya tidak pernah tertarik untuk membeli buku fiksi ilmiah buatan anak negeri. {(*beuh.. perasaan kamu memang nggak pernah beli buku deh, Bongki! Kerjaanmu kan minjem…?*) (*Aduh, Bongka! Diem kenapa sih…?*)}
Tapi setelah saya membacanya, hm, walaupun tetap saja tidak seratus persen sejalan dengan pemahaman saya mengenai waktu, novel ini membuktikan bahwa prejudice saya salah. Sebenarnya yang bikin saya lega adalah catatan penulis di akhir buku yang menegaskan pendapat pribadinya mengenai konsep waktu, yang ternyata sejalan dengan pandangan saya. Hoho, akhirnya MC sendiri mengakui bahwa novelnya ‘hanyalah’ novel =D (*Ya iyalah novel, bukan dodol nangka! Tapi, kalo mau dijadikan bungkus dodol nangka, bisa juga..*)
Kisah yang dirajut dengan dasar mesin waktu dan penelitian arkeologi ini jauh lebih kompleks dari The Terminal Man. Berlatar belakang abad pertengahan Inggris, setting dan kisahnya membetot rasa penasaran saya atas nasib para tokohnya. Baca sendiri aja ya.. Hepi ending kok.. huehehe.. (*lari..*)
(*Bongka’s side kick: sebenarnya waktu itu asa ada banyak ‘hikmah’ yang didapatkan setelah membaca novel ini. Tapi sekarang sudah lupa. Hiks. Jadi sedih. Mungkin kapan-kapan kalo saya sempat membaca versi originalnya, akan ketemu lagi dan dituliskan dengan baik dan benar. Mungkin saja.*)
Note: Semua yang dipetik-petik dan dibintang-bintang adalah benar pada saat tulisan ini naik publish dan tidak membahayakan organisme apapun dalam proses pembuatannya, termasuk spesies langka si Bongka maupun si Bongki. Percayalah.
trims untuk yang udah minjemin bukunya.. JKK
"The patient did not move, made no sound. The brain could not feel pain; it lacked pain sensors. It was one of the freaks of evolution that the organ which sensed pain throughout the body could feel nothing itself."
-Michael Crichton, The Terminal Man-
Termasuk salah satu novel awal yang digarap saat MC masih begitu muda, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu rumit. Namun, endingnya bisa dibilang tetap mengejutkan. Basic neuroscience yang ditawarkannya, sangat menarik minat saya. Saya lagi-lagi harus angkat jempol atas keluasan medan jelajah MC (*fyuuh, latar belakang MC sebagai seorang doktor dokter, dosen, penulis novel dan skenario*) yang menyumbangkan andil besar pada dinamika novel ini.
Setidaknya ada dua hal yang saya 'catat' dari novel ini:Tampaknya edisi bahasa kita belum muncul di pasaran, jadi bersabar saja dengan e-book english-nya :P worth it kok..
- Proses pemrograman dasar otak manusia selesai saat usia sekitar tujuh tahun. saya jadi bertanya-tanya, adakah hubungannya dengan perintah mulai diajarkannya sholat saat anak usia tersebut?
- Secanggih apapun suatu sistem, dia tidak akan pernah bisa memahami dan mengerti dirinya sendiri. Saya jadi bertanya-tanya, adakah kiranya hal ini adalah bagian dari hikmah mengapa Sang Khalik menciptakan Makhluk, padahal DIA tak kekurangan suatu apa?
Saat kemarin membeli pasta gigi, saya menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit staring at the bench of the products at Indomart. Maunya sih beli produk yang tidak mengandung U. Tapi yang produk lisensi Jepang, setelah mencoba beberapa kali, saya harus mengakui formulanya tidak cukup kuat, hehe.. Jadi terpaksa harus beralih lagi. Kemaren-kemaren memakai yang merek senyum ala itu lho.. tapi kok ya ada perasaan ‘berdosa’ karena kandungan U nya. Yah. Jadi beralih pada merek yang paling senior, bikinan kakek-kakek Cina. Ya sudah. Tanpa meneliti lebih jauh lagi. Baru pada hari ke-tiga saya sadari:
1. Ternyata tidak ada label halal! Jika selama ini kurang peduli tanda halal untuk produk kebersihan, pikirkan lagi! Produk turunan B@b1 kemungkinan besar merambah sektor ini, silakan cek tulisan-tulisan mengenai hal tsb. Masak iya membersihkan dengan deterjen, sabun, odol yang ‘kotor’? Ya, saya sendiri juga baru sampai pada tahap wacana dan belajar peduli, belum bisa benar-benar strict melaksanakannya.. masih sulit.. as we know belum ada deterjen berlabel halal ;p
2. Ternyata pasta gigi F produksi kakek berjenggot itu jelas-jelas mencantumkan kandungan formaldehyde alias pormalin!!! Oh my God?!? Kok dibiarkan berkeliaran seenaknya ya? Dulu pasta gigi P yang ada U nya itu juga ada yang mengandung zat pengawet mayat ini. Tapi sekarang-sekarang sudah tidak ada tulisannya lagi (*entah ya kandungan sebenarnya.. masih ngendon diam-diam apa benar-benar sudah lenyap..*). Hal ini mengindikasikan isu-isu penarikan pasta gigi berpormalin merek tertentu dari negara tertentu beberapa waktu lalu hanyalah perang dagang. Sok, mana buktinya kalo adil teh…? Konsumen silakan bingung!
3. Saya tidak berani menyebut langsung judul-judul produknya.. bisi jadi mbak Prita ke-dua :D Yuhu.. pokoknya ati-ati aja semua.. Coba tebak, apakah pasta gigi F itu saya gunakan sampe habis atau langsung saya buang…? Hehe..
mungkin kita baru bisa menghargai hidup, jika kita mengenal benar-benar arti kematian!
semoga DIA memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihku, memilihkuuuu... aamiiin..!Ya, semoga dia dengan huruf kapital memilihku. [Untuk apa?]
The Traveler's Tale
Aditya Mulya, dkk.
Kisahnya membetot semua perhatian; diukir dengan latar menawan dan keunikan tokoh-tokohnya. Diksi dan anekdotnya segar. Sudah bisa ditebak, tapi tetap membuat penasaran. Ringan, energik, namun dangkal. Begitulah, racikan yang lezat namun tidak membuatmu lebih gemuk. Adakah penokohan yang saya suka di sini? tidak. Nice book, though.
The Journal of A Muslim Traveler
Heru Susetyo
Membaca buku ini, adalah membaca buku sejarah. Ditingkahi banyak kesalahan dan minimnya deskripsi keindahan yang biasanya dijanjikan oleh sebuah buku perjalanan, buku ini tetap bisa dibaca saat kita merindukan kabar saudara-saudara kita di negeri lain. Dan yang lebih utama: mengingatkan diri kita kembali; apa tujuan perjalanan kita. Salut untuk Heru Susetyo yang konsisten dengan pemaknaan perjalanannya. Perjalanan yang bukan sekedar untuk ada atau mengadakan perjalanan. Tapi perjalanan untuk yang transenden dan penyelaman hakikat manusia: dengan bicara dan berkaca pada manusia-manusia lain, berusaha memahami siapa, mengapa, dan bagaimana. Tak akan lengkap pemahaman saya mengenai traveling, sampai saya membaca pengantar buku ini yang menghantarkan saya pada sebuah simpulan: saya pun adalah seorang pejalan.
Keliling Eropa dengan 2000 dollar
lupa eh lupa.. pokoknya ada lah.. ntar disusulin
The Witch of Portobello
Paulo Coelho
Sebuah perjalanan, pencarian spiritualitas. Dan endingnya adalah kejutan.
Bagi saya yang lebih menyukai suspense, misteri, sci-fi, atau sejarah, buku yang ‘mendalam’ ini pada beberapa bagian membuat saya lelah: saya harus membaca buku ini, karena saya harus dan saya bilang begitu! (*mengenai buku Coelho Sang Alkemis, dulu saat orang berbondong-bondong baca, saya langsung menyerah tanpa membuka-buka, seolah tak ada chemistry sama sekali.. entahlah, mungkin lain kali ada kesempatan baca*). Memang bukan jenis buku yang membuat saya terpaku dan tak bisa berkedip (*haha, awas kelilipan*), tapi bukannya membosankan. Bayangkan sebuah ziarah panjaaang ke rumah nenek kita di desa (*haha, basi..*) di mana perjalanannya relatif monoton tapi kita tahu nanti di tempat tujuan kita akan mendapat banyak hadiah: pertemuan dan penemuan berharga, keramahan dan pencerahan, yang mungkin justru akan membawa kita pada titik awal, tempat kita berangkat. Samakah kita di titik awal sekarang dengan titik awal kita berangkat? Kita sendiri yang memaknai.
Mengenai isi, sepertinya nama Coelho sudah menjadi jaminan. Apalagi tentang teknik penceritaan. Sudut pandang penceritaan yang unik, dimana sang tokoh utama tak pernah sekalipun menampakkan diri ataupun suaranya, semua berdasarkan sudut pandang orang ke tiga, memberi kita lempeng-lempeng mozaik yang akan terangkai menjadi sebuah gambar paripurna.
Fatimah Az-Zahra
Dr. Ali Syariati
Perjalanan mengenal sang kekasih Rasul.
Agak susah diterima oleh pemahaman saya yang telah dikemas dengan sudut pandang suni: wanita perkasa yang selama ini begitu tangguh dan ‘perfect’ dilemahkan sebagaimana rupa.. mungkinkah orang yang oleh penulis sendiri dikatakan sejak kecil ditempa dengan pendidikan nabawi dan asahan ruhani bisa dengan gampangnya menjadi wanita yang luncur larut dalam dendam kesumat; hanya karena harta dan tahta.. Oo alangkah dangkalnya.. Apa yang ditulis dan dikatakan dalam buku ini demikian berjarak: logika dan paparan yang ditulis di awal dilemahkan oleh subjektivitas penulis yang kelewat batas. Adalah hal yang lumrah sebuah karya apapun mendapat limpahan sisi eksternal penulis, namun mencampur adukkan biografi seseorang dengan ‘karangan’ penulis adalah sebuah dosa paling fatal yang bisa dilakukan oleh seorang cendekiawan yang pada halaman awal menjanjikan akan mengenalkan kita pada Fathimah yang sebenar-benar. Tanpa rujukan dan perbandingan pendapat orang lain, buku ini adalah potongan yang berat sebelah, sebuah sudut yang dibidik oleh mata Syiah. Entahlah. Wallahu’alam bishshawaab.
Life of Pi
Yann Martel
Seandainya aku menjadi Okamoto, aku pun akan mengatakan hal yang sama: aku lebih suka yang ada binatang-binatangnya!
Sebuah perjalanan seorang anak India yang etrombang-ambing di tengah Samudra Pasifik selama lebih dari tujuh bulan. Ironis, menghentak-hentak kesadaran dan mendobrak nilai-nilai yang selama ini kita kenal sebagai rasa kemanusiaan, demi sebuah kata: hidup!
Arok Dedes
Pramoedya Ananta Toer
Seri pertama dari tetralogi Tumapel. Sebuah insight baru, memahami perjalanan Arok-Dedes dan jatuh-bangunnya Tumapel dari sudut pandang sosio-politis; disucihamakan dari unsur dongeng dan kutukan. Worth reading. Sayang, seri dua belum ditemukan naskahnya (hanya sebagian yang bisa diselamatkan). Tak sabar ingin menuntaskan dan meluruskan 'sejarah' di kepala saya.
Membunuh Orang Gila
Sapardi Djoko Damono
Yah, sastra :) hm, kumpulan cerpen yang ditulis oleh sang resi puisi ini memang kalah greget (*menurut saya lah*). Tapi dua cerpennya (yang salah satunya bercerita tentang rumah) mampu membuat semuanya worthed. Mungkinkah ini perjalanan SDD untuk merambah dunia cerpen? Atau saya saja yang kurang tahu buku kumpulan cerpennya yang lain...? hmm..
Desain Graffiti dengan Coreldraw X3
Slamet Hariyadi
Pastinya ini perjalanan untuk belajar menjadi desainer yang oke. Ilustrasi yang ditampilkan cukup membantu (*karena step by step*). Yup, buku ini menggugah saya menyelesaikan yang ini, tapi gagal membuat saya jago bikin graffiti.. haha.. may be next time...