Apalagi yang bisa aku katakan?
Hidup memang berat, tapi tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Menerima begitu saja, atau terus berjuang, seperti yang Umar katakan:
"Aku baru saja beralih, dari takdir Alloh yang satu menuju takdir Alloh lain yang lebih baik.."
Yah, ini tentang tiga orang lelaki yang sering ngendon di ujung Gerbang Ganesha.
Lelaki yang pertama adalah seorang pemain organ yang selalu duduk di aspal di bawah naungan akasia pinggiran Jalan Ganesha. Yah, penghuni paling ujung dari gerbang ini adalah seorang kakek tua, yang memainkan alat musik yang tidak kalah lusuhnya dengan baju yang dia kenakan. Subhanallah, tekadnya untuk hidup membuatnya terus bertahan, memainkan lagu-lagu perjuangan yang saat ini telah tenggelam ditingkahi lagu-lagu boysband. Yah, berapa banyak lagi orang yang masih tenggelam dengan romatika jaman perjuangan tempo doeloe, kalau perjuangan untuk mencari segepok money saat ini sudah begitu mencekik? Kecuali Bapak yang ini. Karena itulah sumber penghasilannya. Tidak bisa dikatakan sepenuhnya meminta-minta, tapi juga tak bisa dipungkiri, sebagian mata akan memandang dengan tatapan iba. Begitulah lelaki pertama.
Lelaki ke dua adalah seorang yang berpakaian sederhana, tapi teramat rapinya. Berkacamata, berikat pinggang, setelan celana bahan, dengan kemeja rapi dimasukkan. Memandangnya membuatku teringat cerita-cerita lama tentang dosen-dosen klasik di novel-novel tua yang sekarang sudah punah dihantam karya chicklit picisan. Usianya sudah jauh melewati separuh baya. ya, dia adalah seorang mantan wartawan sebuah harian nasioal ternama yang bersimpuh di depan gerbang Ganesha untuk menjajakan sebuah baja yang bernama idealisme. Itulah dia, yang setiap adzan bergema segera membenahi dagangannya (buku-buku tipis terfotokopi, sebagian besar karyanya sendiri, tentang tips-tips dan info-info yang dia gali selama ini) untuk kemudian menyeberang ke Ganesha 07, mengisi minyak bagi lentera jiwanya yang masih bijaksana. Usianya tak jauh beda dengan lelaki yang pertama. Mungkin hanya idealisme, ataukah kesempatan yang menerpanya di masa lalu yang membuat mereka berbeda?
Lelaki ke tiga, bukan hanya seorang. Mereka ada belasan, bisa jadi membengkak puluhan di hari ke lima dalam tiap pekan. Mereka menghuni trotoar, dengan gerobak atau dengan hamparan ... [berlanjut di episode berikutnya.. hayaaaah.. KAPE dulu ahhh]
Hidup memang berat, tapi tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Menerima begitu saja, atau terus berjuang, seperti yang Umar katakan:
"Aku baru saja beralih, dari takdir Alloh yang satu menuju takdir Alloh lain yang lebih baik.."
Yah, ini tentang tiga orang lelaki yang sering ngendon di ujung Gerbang Ganesha.
Lelaki yang pertama adalah seorang pemain organ yang selalu duduk di aspal di bawah naungan akasia pinggiran Jalan Ganesha. Yah, penghuni paling ujung dari gerbang ini adalah seorang kakek tua, yang memainkan alat musik yang tidak kalah lusuhnya dengan baju yang dia kenakan. Subhanallah, tekadnya untuk hidup membuatnya terus bertahan, memainkan lagu-lagu perjuangan yang saat ini telah tenggelam ditingkahi lagu-lagu boysband. Yah, berapa banyak lagi orang yang masih tenggelam dengan romatika jaman perjuangan tempo doeloe, kalau perjuangan untuk mencari segepok money saat ini sudah begitu mencekik? Kecuali Bapak yang ini. Karena itulah sumber penghasilannya. Tidak bisa dikatakan sepenuhnya meminta-minta, tapi juga tak bisa dipungkiri, sebagian mata akan memandang dengan tatapan iba. Begitulah lelaki pertama.
Lelaki ke dua adalah seorang yang berpakaian sederhana, tapi teramat rapinya. Berkacamata, berikat pinggang, setelan celana bahan, dengan kemeja rapi dimasukkan. Memandangnya membuatku teringat cerita-cerita lama tentang dosen-dosen klasik di novel-novel tua yang sekarang sudah punah dihantam karya chicklit picisan. Usianya sudah jauh melewati separuh baya. ya, dia adalah seorang mantan wartawan sebuah harian nasioal ternama yang bersimpuh di depan gerbang Ganesha untuk menjajakan sebuah baja yang bernama idealisme. Itulah dia, yang setiap adzan bergema segera membenahi dagangannya (buku-buku tipis terfotokopi, sebagian besar karyanya sendiri, tentang tips-tips dan info-info yang dia gali selama ini) untuk kemudian menyeberang ke Ganesha 07, mengisi minyak bagi lentera jiwanya yang masih bijaksana. Usianya tak jauh beda dengan lelaki yang pertama. Mungkin hanya idealisme, ataukah kesempatan yang menerpanya di masa lalu yang membuat mereka berbeda?
Lelaki ke tiga, bukan hanya seorang. Mereka ada belasan, bisa jadi membengkak puluhan di hari ke lima dalam tiap pekan. Mereka menghuni trotoar, dengan gerobak atau dengan hamparan ... [berlanjut di episode berikutnya.. hayaaaah.. KAPE dulu ahhh]
2 comments:
hai is,
hal tentang lelaki ini mengharukan buatku.
yang pertama.. cukup iba.. tapi bingung, apa ya yg bisa gw lakukan untuk membantunya
yang kedua, itu pilihan hidupnya. jadi iba ama diri sendiri, karena saat ini masih blum bisa ngambil keputusan untuk kepuasan sendiri,, hiks
yang ke tiga, ganesha gitu loh..
wualaaah
btw, km kp dimana sih is?
:P
KP dmana yah?
di situlah, deket-deket pasopati..
hehehe
Post a Comment