Friday, February 23, 2007

Kenshin, dan Aku???

Yup,
sekarang saya tahu bagaimana rasanya menjadi Kenshin, sang Rurouni yang memiliki masa lalu pilu sebagai seorang hitokiri Battousai!!!

Hahaha, jangan dibayangkan saya dengan posisi kuda-kuda dan bersiap menebas batang leher orang dengan sebilah katana! Nggak banged lah! Liat darah aja saya pusing.. ^_^

Bukan bagaimana 'menjadi' atau berlaku seperti dia. Tapi saya mengerti apa yang dia rasakan (hehehe, itu pun kalau makhluk yang hidup dalam manga dan anime ini pernah benar-benar menginjak tanah Nippon..). Yup..

Seperti apa rasanya? Tak banyak yang bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Rasanya seperti.. desperate.. sometimes it seems like no future await by the morning you awaken... I mean, well, I can't afford to describe.. but it's hurt deep down in your heart!

.. apapun yang kamu lakukan, tidak bisa mengubah apapun..
masa lalu adalah bagian dari dirimu,
yang tidak bisa kamu tebus dengan apapun
bahkan jika kamu membuang nyawamu,
masa lalu itu akan tetap tertulis sebagai sejarah
tapi kamu bisa mengubah masa depan!
ya, MASA DEPAN!

[Kesedihan itu mendesak ulu hatiku, apapun yang ada di belakangku tak kan kulihat lagi.. meskipun dirimu yang saat ini di hadapanku, memandang semua itu.. Bagimu aku masih seperti bayang-bayang yang kau lihat di bawah kakiku.. sedang aku, aku telah lama menendang semua itu ke dalam jurang masa lalu.. hehehe, jadi ngaco, kayak yang ditulis dipojok-pojok komik Jepang gene.. ]



.. when those eyes desperately killing me inside ..

3 comments:

Anonymous said...

aslm

no desperate if u have God in u.

here for u...


n________________________________n

Lepaskan Pesimisme...


Hidup ini ibarat arena pertandingan. Siapa menang akan dielu-elukan, dilimpahi kepercayaan, kesempatan, dan hadiah. Sementara yang kalah mungkin dihujani caci-maki, dipandang dengan sebelah mata, tidak mendapat kesempatan dalam pertandingan selanjutnya. Kekalahan dapat menjadi kuburan. Namun, ini hanya terjadi bila pelakunya sendiri memandang demikian.

Alkisah, seorang laki-laki muda yang menjadi tumpuan harapan keluarga sangat gelisah saat ia memasuki semester terakhir sebagai mahasiswa S1. Sebutlah namanya Ferdy. Pada saat orang lain melangkah semakin ringan, Ferdy yang merasa kemampuan dan prestasinya sedang-sedang saja, sementara peluang kerja sangat sempit, justru merasa tak berdaya menghadapi masa depan.

Ia dihantui oleh bayangan menganggur setelah lulus kuliah, padahal ia satu-satunya anggota keluarga (6 bersaudara) yang berkesempatan mengecap pendidikan tinggi. Keluarga yang sudah berkorban mengalokasikan dana terbesar untuk pendidikannya, tidak sabar lagi melihat ia lulus dan bekerja dengan penghasilan yang baik. Akibat lebih jauh, ia lebih suka menghindar bila keluarga mengajak bicara tentang kuliahnya.

Mungkin Ferdy tidak sendirian dalam hal ini. Dengan keterbatasan kapasitas ekonomi, seseorang mudah sekali merasa kalah dalam pertarungan hidup.

Mudah dibayangkan bahwa dengan penampilan fisik sederhana, tidak mampu membeli buku, tak dapat ikut kursus ini-itu, tanpa uang saku yang cukup, dirinya tidak layak beredar dalam pergaulan, tidak layak untuk mendapat perhatian orang lain, tidak layak untuk unjuk kinerja, dsb.

Di mata individu-individu seperti Ferdy, tidak adanya modal yang dimiliki membuat mereka kehilangan akses untuk bergaul, berprestasi, menembus persaingan kerja, bisnis, dll. Perasaan gagal yang beruntun ini membuat seseorang merasa tidak berdaya (learn helplessness).

Keadaan semacam ini juga dapat terjadi pada individu-individu di lingkungan organisasi. Elisabeth Moss Kanter (penasihat berbagai perusahaan besar, profesor dari Harvard Business School) sepanjang pengalamannya menjadi konsultan menemukan bahwa bila para manajer dalam sebuah perusahaan telah kehilangan keyakinan untuk sukses, berkembang keputusan-keputusan yang makin tak menguntungkan perusahaan yang bersangkutan.

Dengan keyakinan-keyakinan negatif yang berkembang, mereka yang mengalaminya cenderung menyembunyikan diri, bahkan melarikan diri, tidak berani menghadapi tantangan, dan kurang menghargai kinerjanya sendiri.

Pandangan Pribadi yang Menentukan

Kita dapat memahami bagaimana Ferdy dan banyak orang lainnya menjadi pesimistis dengan masa depannya. Keterbatasan ekonomi atau modalitas yang lain (kemampuan mental, fisik, dll) memang membuat orang mengalami hambatan untuk bergerak maju.

Namun, kecenderungan untuk pesimistis perlu dikoreksi. Sebab kenyataan yang terjadi menunjukkan, ia sudah kalah sebelum perang. Menurut istilah Rosabeth Moss Kanter, ia telah menjadi pecundang.

Kita malah dapat menduga, jangan-jangan kemampuan dan prestasi Ferdy yang menurut penilaiannya sendiri biasa-biasa saja itu disebabkan pesimisme yang sejak awal melekat, sehingga menghambat pembelajaran selama ini. Harap maklum bahwa pola pikir pesimistis itu dapat sangat memerosotkan kinerja kita. Sebaliknya, pola pikir optimis merupakan penyangga, bahkan dapat menjadi pegas yang membuat kita merasa penuh daya, sehingga benar-benar dapat mewujudkan impian.

Jadi, sukses atau gagal sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh keyakinan kita sendiri. Ibarat gelas berisi air, setengah penuh atau setengah kosong itu tergantung bagaimana orang memandangnya. Dengan gelas yang kita yakini berisi air setengah penuh kita akan lebih berani melakukan sesuatu yang berarti daripada bila kita meyakini itu setengah kosong.

Pada dasarnya selalu ada cara untuk membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Dengan demikian, yang kita perlukan adalah memiliki pandangan positif terhadap segala hal di dalam hidup kita. Dengan berpikir positif kita akan melihat hal yang sebelumnya tidak terlihat, merasakan hal yang sebelumnya tidak dirasakan, dan akhirnya dapat mewujudkan apa yang hendak kita wujudkan.

Unrealistic Optimism & Self Fulfilling Prophecy

Bagaimana mungkin dapat optimis kalau faktanya lapangan kerja memang sempit, kemampuan dan prestasi tidak menonjol? Mungkin begitu pertanyaan Ferdy. Namun, optimisme itu memang tidak harus dilandasi oleh realitas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang merasa bahagia itu memiliki unrealistic optimism (optimisme yang tidak realistis).

Jadi, kita justru dapat merasa bahagia kalau mampu membayangkan dan meyakini diri sebagai orang yang berkemampuan, dapat berprestasi, dapat menembus peluang kerja, memiliki kepribadian menarik, dsb, sesuai impian. Tanpa peduli realitas, kalau kita berani berkeyakinan dan membayangkan diri seperti itu, justru apa yang kita yakini dapat menjadi kenyataan.

Fenomena keyakinan akan menjadi kenyataan seperti itu dalam psikologi disebut self fulfilling prophecy. Berdasarkan mitos Yunani (kisah Pigmaleon yang mendambakan dan meyakini patung wanita cantik ciptaannya itu hidup, dan akhirnya menjadi kenyataan), keadaan seperti itu disebut Efek Pigmaleon.

Hal tersebut di atas berbeda dengan orang sakit jiwa yang kehilangan kesadaran dan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan realitas. Sebagai orang normal, dalam membayangkan berarti kita secara sadar menggunakan kapasitas mental untuk berimajinasi.

Dalam berkeyakinan, berarti kita mengembangkan kapasitas kita sebagai orang beriman. Nah, dengan menggelar kapasitas-kapasitas mental seperti itu, hasilnya akan sungguh luar biasa. Disertai doa-doa penuh iman kepada Allah, tentu saja membuat kita tetap di jalur yang benar.

Jadi, yang perlu dilakukan Ferdy adalah menghapus semua gambaran negatif mengenai masa depan, dan mengggantinya dengan gambaran-gambaran positif. Gambaran-gambaran (imajinasi) positif akan membuat emosi juga menjadi positif (tenang, bahagia, rasa takut sirna). Akibatnya akan lebih ringan dan lebih efektif ketika belajar, serta lebih mudah dalam berinteraksi dengan orang lain.

Dengan demikian bukankah kelak pada saat lulus Ferdy sudah mampu mengembangkan kemampuan diri sedemikian rupa dan tampil sebagai pribadi yang menarik?

Tidak Menggeneralisasi
Salah satu hal yang dapat menghambat optimisme seseorang adalah kecenderungan untuk menggeneralisasi suatu kejadian, yaitu menganggap bahwa hal yang terjadi saat itu (sukses, gagal, baik, buruk, dsb) dianggap berlaku untuk berbagai hal lainnya.

Dalam kasus Ferdy, ia menilai prestasi studinya sebagai biasa-biasa saja. Atas dasar itu, ia menganggap dirinya memiliki kemampuan yang pas-pasan. Dalam hal ini telah terjadi generalisasi (pandangan memukul rata), dari prestasi studi ke kemampuan pribadi.


Bukan tidak mustahil, dari anggapan bahwa dirinya memiliki kemampuan dan prestasi studi biasa-biasa saja, dalam hal lain di luar studi ia juga beranggapan hanya mampu melakukan hal-hal yang biasa-biasa saja, tidak mampu bekerja, dst. Belum lagi dengan banyaknya sarjana menganggur, ia menganggap kelak dirinya juga akan menjadi penganggur.

Sebenarnya bukan IP yang menentukan kesuksesan seseorang. Telah banyak contoh tokoh yang gagal dalam lingkungan akademik atau memiliki IP biasa-biasa saja, tetapi sukses dalam bidang yang digelutinya. Beberapa contoh yang dapat disebut antara lain Rhenald Kasali (konsultan manajemen, ketua program MM UI), Ahmad Dhani (band Dewa), Thomas Edison, dll.

Tidak perlu khawatir dengan kemampuan yang biasa-biasa saja. Sepanjang kita terus belajar mengikuti perkembangan pengetahuan yang mutakhir, kita tidak akan ketinggalan dari orang lain. Meskipun IP tidak maksimal, bila memiliki pengetahuan luas, memiliki kepribadian menarik (berpikir positif terhadap diri sendiri dan orang lain), tentu saja orang senang bekerja sama dengan kita. Salam optimistis


Sumber: Gaya Hidup Sehat

kompas.co.id

n_________________________________n

hmm, ga nyambung ya..???

but i like this words:

"unrealistic optimism"

wslm

Pecintalangit said...

tuk anonymous...nih comment apa postingan? heheh..

saya juga suka ma battosai sang pembantai...

Katakecil said...

heboh amat si.. heuheu..
what can I say..

Domo arigatou gozaimasu, minnasan..!