2:20 PM 2/1/2008
Salam sejahtera, semoga malaikat-malaikatNYA menaungimu dengan sayap-sayap do'a
Pas pulang kampung kemaren, bener-bener berasa yang namanya kenaikan bahan-bahan makanan. Soalnya,
kalo di kosan kan nggak pernah belanja bahan mentahan (*secara biasanya eike madok kiriman si kujel), sedangkan kalo di rumah.. ya sama aja, nggak ikutan belanja bahan bakar dapur, hehe.. tapi setidaknya aku jadi 'kedengereun' bisik-bisik riuh ibu-emak-budhe-bulik yang ribut mengenai harga tempe (*malang=kota tempe, sodara-sodara) yang melonjak gila-gilaan. Yah, banyak perajin tempe yang sampai gulung tikar. Ada juga yang masih bertahan dengan menerapkan strategi-strategi khusus demi mengikat pelanggan: mengusahakan ukuran tempe tetap 'cukup' besar dengan mengurangi tingkat kemurniannya. Padahal, saat ini, tempe tidak hanya dijadikan lauk yang sebagaimana biasa kita makan sehari-hari. tempe juga diolah menjadi keripik (*hanya bisa dilakukan untuk tempe kedelai murni, kalau diberi campuran bahan lain keripik akan 'protol', tidak bisa garing) yang menjadi salah satu oleh-oleh khas kota malang. Ada juga upaya menjadikan tempe sebagai tepung untuk bahan dasar brownies dan kue-kue lainnya. dengan kenaikan harga kedelai yang lebih dari 100% itu, otomatis semua usaha di atas kebagian getahnya.
Omong-omong, malang juga menjadi salah satu penghasil sayur mayur dan buah-buahan yang cukup terkenal. Tapi greget juga melihat apa yang saat ini terjadi. Gimana pertanian mau maju, wong nyari pupuk saja susahnya minta ampyun! padahal harganya sudah melambung tinggi.. kok ya tega-teganya tidak ada juga di pasaran. Tetanggaku yang sebagian besar berpegang pada sektor pertanian ini mengungkapkan betapa susahnya menjadi petani. Nyari bibit unggul mahal. Pupuk langka. begitu panen, eh.. ndilalah kok ya harganya murah emen.. Gimana mau jadi petani yang sukses kalo 'kondisi' bangsanya tidak mendukung? Padahal, seperti yang pernah aku ceritakan, saat ini di tempatku ada sebuah usaha agro milik asing yang bergerak di bidang pembuatan bibit dan tanaman unggul yang kelihatannya sukses. (*ini saya asumsikan dari banyaknya warga sekitar yang direkrut menjadi pegawai, perpanjangan masa sewa lahan, dan volume penjualan hasil tanam, secara saya gak melakukan penelitian langsung di sana..). Masak iya orang asing bisa mengeruk keuntungan dari tanah kita (*dengan modal lobi, otak, dan duit), sedangkan orang kita membeli hasil tanaman dari tanah mereka sendiri! Apakah kita tidak punya duit? Apakah kita tidak punya otak? Denger-denger sih, Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya akan dihapuskan karena sepinya peminat jurusan pertanian. Duuh.. Ironis.. Apakah saya harus belajar dari sekarang supaya nanti saya bisa mengajari anak saya bagaimana membuat beras dari arang, hohoho... *_* (*secara sama-sama keluarga karbon)
Salam sejahtera, semoga malaikat-malaikatNYA menaungimu dengan sayap-sayap do'a
Pas pulang kampung kemaren, bener-bener berasa yang namanya kenaikan bahan-bahan makanan. Soalnya,
kalo di kosan kan nggak pernah belanja bahan mentahan (*secara biasanya eike madok kiriman si kujel), sedangkan kalo di rumah.. ya sama aja, nggak ikutan belanja bahan bakar dapur, hehe.. tapi setidaknya aku jadi 'kedengereun' bisik-bisik riuh ibu-emak-budhe-bulik yang ribut mengenai harga tempe (*malang=kota tempe, sodara-sodara) yang melonjak gila-gilaan. Yah, banyak perajin tempe yang sampai gulung tikar. Ada juga yang masih bertahan dengan menerapkan strategi-strategi khusus demi mengikat pelanggan: mengusahakan ukuran tempe tetap 'cukup' besar dengan mengurangi tingkat kemurniannya. Padahal, saat ini, tempe tidak hanya dijadikan lauk yang sebagaimana biasa kita makan sehari-hari. tempe juga diolah menjadi keripik (*hanya bisa dilakukan untuk tempe kedelai murni, kalau diberi campuran bahan lain keripik akan 'protol', tidak bisa garing) yang menjadi salah satu oleh-oleh khas kota malang. Ada juga upaya menjadikan tempe sebagai tepung untuk bahan dasar brownies dan kue-kue lainnya. dengan kenaikan harga kedelai yang lebih dari 100% itu, otomatis semua usaha di atas kebagian getahnya.
Omong-omong, malang juga menjadi salah satu penghasil sayur mayur dan buah-buahan yang cukup terkenal. Tapi greget juga melihat apa yang saat ini terjadi. Gimana pertanian mau maju, wong nyari pupuk saja susahnya minta ampyun! padahal harganya sudah melambung tinggi.. kok ya tega-teganya tidak ada juga di pasaran. Tetanggaku yang sebagian besar berpegang pada sektor pertanian ini mengungkapkan betapa susahnya menjadi petani. Nyari bibit unggul mahal. Pupuk langka. begitu panen, eh.. ndilalah kok ya harganya murah emen.. Gimana mau jadi petani yang sukses kalo 'kondisi' bangsanya tidak mendukung? Padahal, seperti yang pernah aku ceritakan, saat ini di tempatku ada sebuah usaha agro milik asing yang bergerak di bidang pembuatan bibit dan tanaman unggul yang kelihatannya sukses. (*ini saya asumsikan dari banyaknya warga sekitar yang direkrut menjadi pegawai, perpanjangan masa sewa lahan, dan volume penjualan hasil tanam, secara saya gak melakukan penelitian langsung di sana..). Masak iya orang asing bisa mengeruk keuntungan dari tanah kita (*dengan modal lobi, otak, dan duit), sedangkan orang kita membeli hasil tanaman dari tanah mereka sendiri! Apakah kita tidak punya duit? Apakah kita tidak punya otak? Denger-denger sih, Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya akan dihapuskan karena sepinya peminat jurusan pertanian. Duuh.. Ironis.. Apakah saya harus belajar dari sekarang supaya nanti saya bisa mengajari anak saya bagaimana membuat beras dari arang, hohoho... *_* (*secara sama-sama keluarga karbon)
No comments:
Post a Comment