Selama ini, sebagai rakyat Jowo yang terdampar di wilayah timur (*dengan kata lain lebih 'preman') saya tidak terlalu akrab dengan budaya priyayi, bahkan sekedar untuk tataran wacana sekalipun. Lha wong memang buyutnya buyut saya aseli petani atau bakul tani tulen, sampai ke temurun tujuh generasi berikutnya. Jadi kami-kami ini memang rakyat alit, dari ujung kepala sampai ujung kuku kaki (*meminjam gaya ungkapan Pramoedya). Tapi lewat kumpulan kolom ini, saya mulai dapat membaca apa sih inti budaya jawa yang katanya agung itu, yang tak lain dan tak bukan terdiri dari dua ramuan: kedigdayaan kaum elit dan filosofi kaum alit. Digdaya di sini berarti kebesaran dengan segala kemegahannya, yang tak pantas ditantang dan tak patut dilawan. Filosofi di sini berarti obat kuat yang ditelan saat yang besar tak bisa dilawan dan yang megah tak bisa diraih. Tapi apa benar yang alit selalu dijepit? Di sini akan kita lihat sesuatu yang beda. Yang cilik ternyata juga punya dunia khusus yang tak bisa di masuki yang agung, dunia yang hanya dimiliki oleh mereka. Simak saja cerita pas Mas Joyo, Pak Ageng, dan Mr. Rigen nonton PSSI lawan Jepang kalo ag salah inget. yang menarik lagi, sindiran terhadap budaya bangsa Indonesia lewat episode Halo-Halo dan Profesor XX (*lupa!).
Melalui tiga lakon sentral, Pak Ageng sang 'aku' priyayi, Mr. Rigen sang ketua Kitchen Cabinet, Beni Prakosa bin Mr. Rigen yang suak mbalela, Ms. Nansiyem alias Mrs. Rigen, Mas Joyoboyo sang penjual penggen eyem.. lho lho..? kok lebih dari tiga? hehehe.. baca sendiri aja deh, 127 kolom yang ditulis Almarhum selama kurun 1989-1992an itu. Tak kan menyesal, meski harus garuk-garuk mata yang nggak sepet kalau menemukan istilah-istilah yang njawani itu. Sketsa yang polos dan menggugah, yang menurut Gunawan Muhammada dalam kata pengantarnya sulit dicari padanannya, bahkan untuk konteks realitas saat ini. Jawa oh jawa..