"Bacalah kitabmu, dan “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”. (QS.Al-Israa:14)"
Dua orang pria muda berjalan beriringan di track lari KONI, sementara sekelompok muda mudi hanya menonton di tribun, tertawa-tawa. Halte kosong, mungkin ini keberuntunganku setelah tadi berdiri bermenit-menit menunggu pertigaan Pajajaran lengang, sekadar untuk menyeberang. Udara pukul tiga belas dua puluh masih mengandung gerah. Angin semu yang dihembuskan motor dan mobil yang melaju kencang setidaknya meringankan kepekatan panas siang ini. Yah, duduk bengong sendirian di halte yang baru kali ini aku singgahi. Masih beberapa puluh menit lagi menuju waktu yang aku janjikan untuk adik les privatku. Cukuplah untuk sekedar menikmati sisi lain Bandung, suasana yang agak janggal untuk kota yang sudah tiga tahun ini aku hijrahi. Yah, Pajajaran dengan KONI, GOR, dan beberapa institusi yang belakangan aku tahu bergerak di bidang sosial, pemberdayaan para tuna netra. Memang, tak jauh dari sini ada rumah sakit mata Cicendo. Mungkin, seiring dengan hal itu, tumbuh juga kepedulian terhadap penderita amanah tuna tersebut, yang diwujudkan dalam beberapa sekolah luar biasa dan panti Wyata Guna. Tampaknya sekolah luar biasa itu tidak dikhususkan untuk penderiat tuna netra saja, karena pada pekan sebelumnya ketika saya mencoba menyusuri jalan ke arah rumah sakit Cicendo terus ke arah stasiun Bandung aku berpapasan dengan beberapa anak berseragam SMP yang berbicara dengan bahasa isyarat. Mereka terlihat bercanda dan bergembira, seperti layaknya anak-anak menikmati masa remajanya. Dan sekarang, di seberang jalan, aku lihat seorang tuna netra berjalan keluar dari kantor panti yang sudah saya sebutkan tadi. Seorang gadis berkerudung menuntun bapak setengah tua yang tidak memakai tongkat itu. Aku masih ingat, beberapa menit yang lalu bapak tadi masuk panti dengan sebuah tongkat di tangannya, sama seperti ibu-ibu berjilbab yang berjalan sendirian dengan dua buah tas tersampir di pundaknya itu. Dua wajah yang nampak suram di kedua matanya, namun berpendaran bahagia dengan lengkung menghiasi bibir mereka. Subhanallah..
Mungkin tak sering saya menyadari, tak semua orang di dunia ini mampu menikmati indahnya pelangi yang akhir-akhir ini memang semakin langka. Seperti juga tak semua manusia diberi kesempatan untuk menikmati ajaibnya efek Doppler. Juga tak setiap orang, diberi kemudahan untuk berlari di track seperti dua pria muda tadi. pun tidak semua orang bisa bebas tertawa seperti muda-mudi yang bergerombol di tribun. Maka saya merasa sangat beruntung, sekaligus bergetar ngeri. Bersyukur untuk nikmatNYA yang jarang, meskipun tak kan pernah bisa, saya perhitungkan. Ngeri mengingat banyaknya amanah yang harus saya pertanggungjawabkan. Iya. Semakin banyak yang kita punya, semakin besar tanggungan yang harus kita 'bayar'. Beberapa saat kemudian, sembari memainkan Snake II, satu-satunya game yang mengasyikkan di Nokia 1100 saya, mata saya tak sanggup menyembunyikan keterperangahannya. Seorang lelaki usia tiga puluh limaan dengan pakaian lusuh dan sebuah kantong keresek hitam di tangannya, berjalan tergesa melewati halte, terus menaiki jembatan layang melintas ke seberang jalan raya. Beberapa waktu berselang, kembali dia melintas dengan rute dan ketergesaan yang sama. Naluri saya mengatakan ada yang salah dengan kejiwaan orang ini. Astaghfirullah.. Mengapa mata ini justru menggiring akal pada praduga-praduga dzonni. Kembali saya terpekur, mudahnya diri ini terpedaya: don't judge the book by it's cover! Meskipun kebanyakan isi buku yang saya lihat di masa sekarang ini memang sudah tergambar dari covernya. Cover yang lux dan resmi, atau penuh dengan gambar seperti comberan meluap, tak bisa dikenali lagi apa ide dasar desainernya. Atau plontos tanpa sentuhan rasa. Dan memang begitu juga isinya. Lho lho lho? Kok loncat ke desain cover buku? Hehehe, beginilah susahnya punya otak acak abstrak. Untungnya, dengan begitu saya jadi lebih bisa menikmati hidup, this life is an harmony. Nothing (?) goes as your plan, but it's okay. Anyway, sudah saatnya ke tempat les.
Fuuuh, batal lagi. Parahnya, adik lesku baru ngasih tau kalau dia lagi di luar kota setelah aku kongkow-kongkow hampir tiga per empat jam sambil nonton TV, plus baca cerpen dan berita-berita tidak penting di koran yang tergeletak begitu saja di atas meja. Secangkir teh manis yang tak habis saya minum kutinggalkan begitu saja. Fyuuhhh.. tak bisa terus begini! Saya harus segera menemukan usaha baru yang lebih prospektif! Agak terlalu berat untuk otak yang condong lebih care pada social enterpreneurship seperti saya ini. Langkah cerdas, keras, dan ikhlas untuk mencetak lembaran hijau.. merah.. fyuuh.. Saya susuri jembatan layang yang sengaja di desain tanpa undak-undak untuk memudahkan tuna netra menyeberang dengan permenungan yang tak jauh beda dengan saat saya berangkat. Dengan matahari yang masih sama garang. Dan kantong yang masih sama kosong [hahaha... ;p]. Menyusuri jalan Pajajaran dengan sisi dan arah yang berkebalikan dengan awal saya datang, saya perhatikan, ternyata jalan ini sangat tidak menyenangkan untuk orang yang mengandalkan rabaan tongkat dalam berjalan. Bagaimana tidak, pohonan dibiarkan (* oups, sengaja dinK!) tumbuh di tengah trotoar, sementara beberapa bagian jalan berlubang, ada juga gundukan batu sisa bahan bangunan dibiarkan teronggok. Saya yang dapat melihat saja harus berkali-kali berzigzag mencari lintasan yang nyaman untuk sepatu (teman) saya yang sudah lumayan keramat ini. Dan trotoar macam ini hampir ada diseluruh pinggiran jalanan Bandung. Setidaknya di wilayah ini lebih baik, masih ADA trotoar yang lumayan lebar. Mata saya kembali tertusuk, seorang lelaki dengan pakaian yang tidak sepantasnya tidur menantang matahari di trotoar depan Kimia Farma. Beberapa langkah lagi saya akan berbelok ke arah jalan Wastukencana lalu melupakan semua yang saya lihat, dengar, dan kecap beberapa saat yang lalu. Tapi lelaki tadi (mungkin) masih akan terus di sana, terngungun di tengah aliran kendaraan, menjaga kerawanan jiwanya utuh tak terjamah. Lalu menyisakan tanya, siapa yang harus bertanggung jawab atas dirinya? Masyarakat? Masyarakat yang mana? Negara? Negara yang seperti apa? Atau malah (memang) dia tidak pernah berpikir. Hanya akan menagih di akhirat nanti, pada saya, polisi, pedagang, sopir, anak SMA, Anda dan semua yang lalu lalang di sana: 'Yaa Alloh.. mereka waktu itu melihatku seperti ini dan seperti itu.. tapi jangankan mereka yang memiliki otak waras itu memberi saya tempat berteduh, menawari saya makan atau memberi saya pakaian pun mereka enggan.. Yaa Alloh, adakah yang pantas untuk orang-orang yang cuma bisa memandang dan berkeluh atas diri mereka sendiri itu? Adakah yang pantas untuk orang-orang yang cuma bisa bergumam kasihan tapi mampu mendandani anaknya dengan segala rupa.. Orang-orang yang mampu makan es krim sementara berpikir belasan kali untuk memberi sedekah seharga sebutir pemen yaa Alloh.. Aku minta keadilanmu.. "
Rabb, bebaskan hamba dari prasangka
Bebaskan hamba dari kekhawatiran atas masa depan
bebaskan hamba dari kelemahan..
Dan rizkikan hamba Qiyamul lail..
Rizkikan hamba tilawah..
Rzkikan hamba kesyukuran
Rizkikan hamba dzikir yang tiada berputusan...
[[ dengan rindu pada Muhammad.. Andai nur-mu yang mulia ada di sini, bercucurankah air matamu? ]]