Kurasa usianya akhir dua puluhan, atau mungkin awal tiga puluhan. Pakaiannya terlalu sederhana untuk ukuran pegawai kantoran, tetapi terlalu bersih dan rapi untuk orang yang kerja kasar. Tangannya kosong, tidak nampak tas atau bawaan apapun. Jadi aku tidak bisa menebak profesinya apa. Hari sudah mencapai kelelahannya yang paling telak, tetapi lelaki itu seperti pagi yang baru menetas: wajahnya cerah sumringah. Aku punya dua tebakan untuk menjelaskannya: dia sedang jatuh cinta, atau dia sedang jatuh cinta (itu mah idem atuh! =,="). Tapi aku tidak tahu dia jatuh cinta kepada apa. Yang jelas, padat, rikuh, dan lelahnya kota ini tidak sanggup mengekang rembesan rasa itu dari aura tubuhnya: ringan, penuh senyum, dan.. bahagia...
Inilah kebiasaan baruku: mengamati orang-orang Jekardah; terutama kited berada di angkutan umum seperti Kopaja ini. Sangat jarang aku melihat ekspresi seperti itu. Kalau galau, hm, ekspresi itu ada di mana-mana. Maka mataku susah lepas dari objek yang satu itu (*uhmm, mana praktik teori menjaga pandangan, katakeciiiil?*). Bukannya apa-apa. Aku hanya penasaran dan tak bisa tidak jadi merenung: sebenarnya bahagia itu apa? Mengapa dia bisa menjadi seperti itu? Apakah dia memilihnya? Tapi rupanya renunganku sia-sia karena aku tak bisa bertanya langsung padanya. Tapi kurasa dia memang memilih untuk berbahagia saja, regardless any background that may appear behind him. Dunno.
Satu lagi kebiasaanku: mengamati dan membaca graffiti dan lukisan yang ada di tembok-tembok, juga truk yang melintas. Ini juga termasuk ekspresi kegundahan masyarakat, yang seringnya terlalu jujur. Kapan-kapan aku ingin membikin kumpulan catatannya. Hmm...
Semoga aku semakin banyak melihat wajah-wajah bahagia di kota ini.
Aamiiin..
No comments:
Post a Comment