Thursday, October 18, 2007

Angkot dan para penumpangnya

Hm,

Tadi di angkot saya sebel. Sannggggaaat sebal, sampai sampai saya malu sendiri dengan muka saya yang beberapa detik sempat berubah bete kesetanan. Duh, mana bekas shiyam itu?


Tadi di angkot saya sebel. Di tengah macetnya lintas TamanSari, luberan dari kebon binatang Bandung, klakson sudah berjumpalitan, dan saya terjebak di pintu angkot. Dengan rok saya yang cukup panjang dan cukup sempit, sangat sukar untuk melewati ibu yang dengan gagah dan keras kepalanya menduduki kursi tepat di depan pintu. Duh, mbok ya ibu itu yang ngalah, pindah duduk yang di dalam. Lagian kan lebih nyaman. Aman lagi. Maka hatiku ngegerundel, melompati barang-barang di pintu dengan sepenuh perjuangan yang diizinkan rok dan sepatu ini. Saya jengkel. Susah sekali mencari simpati di kota beton ini. Dan saya malu pada muka saya sendiri yang bete.


Tadi di angkot saya sebel. Tapi ketika saya piker-pikir lagi, ternyata saya juga sering memaksakan duduk di kursi paling pinggir, membuat orang yang baru naik terbungkuk terburu-buru berjalan ke bagian belakang, menyaingi supir angkot yang bernafsu mengejar uang setoran. Duh,,, malu aku pada muka beteku. Apalagi saat aku pandangi, ternyata sang ibu menduduki kursi itu bukannya tanpa misi. Seorang bapak paroh baya menggendong anak tiga tahunan, terkantuk-kantuk tepat di kursi sebelahnya. Tepat menghadap pintu. Artinya ibu itu hanya bermaksud melindungi anaknya yang lucu, semoga tidak terjatuh dari gendongan bapak paro baya. Ah, malunya aku pada muka beteku..


Tadi di angkot saya sebel. Ditengah jubelan penumpang, dan keringat yang menderas. Pojok kudengar riuh dua ikhwan diskusi. Tentang segala istilah arab yang entah, otak awam ini tak sanggup mengikuti. Duh, mbok ya lihat situasi.. ini kondisinya seperti ini.. saya saja agak risih mendengar istilah-istilah luar angkasa mereka, bilakah mana teteh-teteh dengan jins yang pinggangnya tertarik saat turun angkot tadi.. bilakah mana ibu-ibu berU-Can-C Duh.. tapi malu aku pada muka beteku.. kok aku lebih malu atas saudaraku yang berbuat kebaikan di muka umum, dari pada perempuan-perempuan berbaju tak utuh? Duh, sebatas mana keimananku.. aku malu pada muka beteku sendiri. Lagi pula, bukankah mimpi-mimpi kita terbayar saat para pengamen menyayikan nasyid-nasyid rabbani? Saat orang-orang tidak bicara kecuali kebajikan? Saat anak-anak muda riuh merancang strategi jihad di pasar, di mushala, di lapangan basket, di mall.. di mana-mana! Itulah mimpi kita! Dan aku malu pada muka beteku..

No comments: