Wednesday, November 30, 2011

Nyolong#2

Father of The Bride Part 2:

George: Well, I am sorry I was such a prick..
Nina : Well, that's okay.. I am used to it..


Haha.. Yeah.. Time gets you somewhere...

Nyolong #1

Father of The Bride Part 2:
"First you steal my daughter and now you make me a grand father?"

Haha... What a humor..

The Death Penalty: A New Conscience (*at least for me*)

Right now I am watching The Life of David Gale on one of TV cable channel, a film about a man who's about to be executed. Well, the movie is still on, so I don't even know whether he's guilty or being framed, but he always claims that he's innocent. He depends his life to a reporter lady who is still digging for the truth. Well, for the sake of my writing target speed (?), I've just googling it and here's what I've found. Voila..

The movie went flash back and forth, but I think one of the point is, whether capital punishment is humane or it is nothing but legal murder? There are a lot of pros and cons on this matter. In US it is about 60% pros and the rest is against it. Well, anyway, I end up watching the movie and abandoned this note, haha. The film is a very ironic and tragic story, I think. . . This film remind me one of John Grisham's novel: The Chamber. The novel tells the story of a long missing grand son who strive to save his grand father from a gas chamber. Very sentimental. But it is interesting to put ourselves on another new point of view: it is easier to us to pros when there's no one of your own blood and bones there awaiting to be executed, in whatever methods. And it is never a pleasant task to do for the executor, anyway.

Eye for eye, teeth for teeth. That's the reasoning of the pros. The victims or the victims family have the right for retaliation. It is a good way to control the level of crime. Islamic law shows that. And I believe in it's greatness of it's values: it's good here, and here after. But then, there's this special rule, that turns good into great: forgiveness. Of course, it applies on special cases, which is a long course material to write here, as I am just too lazy to read and learn it right now :D *bleeeh* Please dig for more of Islamic laws on capital punishment. I got this link here, that I haven't review yet, but I hope it is "something".


There are people who said that there's no truth, only perception, perspective... but I think it's not the truth that we are challenged to get. It's about our best effort and approach to get the truth; which is, in my opinion, it is on Islamic rule. It is not about playing God, rather it is about playing on God's rule. And it is a big deal because:


.. flawed system will kill innocent people..




The conclusion is.. the death penalty is not for the dead one. It's never about the victim. It's about the living people who left behind: so the families can go on, so there're no more people who will do the same thing ever again and hurt others, so there would be a better world.. If the objective can be achieved without shedding any blood, then it is better. Please correct me if I am wrong.



#Oh yeah, don't get me wrong.
I wrote this in English not because of my capability nor my hobby, but for my sickness.
I am sick of this English autocorrect option :'( still can't find the setting.. whaaa... gaptek...
By the way, I used google transtool to help me out sometimes.. and it works great :'(
Ouch.. hate it.. when machine outmatch human..
But it seems the machine works better when translating Indonesia to English than the vice versa.

Tuesday, November 29, 2011

Casting

aku sudah dapatkan semua pemeran, atau setidaknya, yang kureka-reka akan sanggup memerankan..
sebutlah: matahari, angin, awan, bahkan lautan! semua sudah kupunya...
tapi berhadapan denganmu.. (*aih.. bukan berarti aku bicara soal wajahmu.. tak sanggup lah aku.. bagiku, di mana dan ke mana pun engkau dan aku memandang, selama kau masuk dalam radarku, itulah 'hadap' bagiku...*)
ya, berhadapan denganmu membuatku kehilangan semua patokan dan nilai
siapa kamu di antara jajaran 'bintang' yang tadi kusebut...?
ini bukan soal popularitas, kawan!
bukan pula perkara cerlangnya gravitasimu..

tapi sungguh, hadirmu memporak-porandakan status sutradaraku...
harus casting ulang?
aku tetap tak tahu di mana bumi pijakmu layaknya..
ataukah, ahh.. engkau kah bumi itu?


back to mode: my diariez tak jelas tak penting tak usah dibaca

The Wind In, The Wind Out

Dulu logika saya menolak mentah-mentah adanya secuil kemungkinan bahwa anak manusia bisa masuk angin di negeri yang panasnya seganas Jekardah. Impossible banget, dah!

Tapi nyatanya, dua kali sambang terakhir ke mari, dua kali pula saya kena angin masuk! Doh!
Nggak elit banget.. Sakitnya memusingkan kepala, tapi nggak ada yang jenguk! *hahahaha*
Kalo yang mijitin dan bikinin minum panas sih ada =D *grin grin grin*

Hal ini terjadi akibat pilihan makan buah simalakama: memakai kipas angin, atau basah kena keringat. Dan yang biasanya terjadi adalah dua-duanya! Maka lahirlah masuk angin akibat pergaulan bebas kedua keadaan tadi. Terima saja (*jdugh*). Tawaran lainnya adalah: pake ase dong bo! Gimandang sih yey! *haatching, pose benchis*

Ya, kota ini menyadarkan saya betapa ajaibnya penemuan AC dan kulkas. Bagaimana cara kerjanya, dan lain sebagainya, silakan dikulik di sini. Thermodinamika adalah keruwetan sederhana dalam kotak pandora fisika yang lebih baik tidak saya buka (alasaaaaan.. bilang aja gak ngerti, hahahah :D). Saya hanya akan menyinggung tentang sisi lain dari keajaiban ini: selalu ada sejumlah kalor yang dibuang ke lingkungan, setiap kali kita mendinginkan suatu ruangan tertutup. Seperti halnya yang dinyatakan oleh hukum thermodinamika ke 2, entropi sistem selalu bertambah! Maka jangan heran kalau kian hari, temperatur lingkungan juga kian meningkat, seiring pertumbuhan jumlah pendingin yang digunakan. Urban warming inilah yang mungkin sering dicampur adukkan sebagai global warming. Hmm, jadi ingat novel The State of Fear-nya mendiang Pak Crichton, nggak sih? (Yang belum baca push up 100x lalu kipasin saya 1000x! Mayan, biar hemat listrik, haha!)


Dalam bahasa katak bisa dikatakan: jika kita menabur AC, kita akan menuai panas (???). Jadi mari kita menabur angin, paling-paling menuai masuk (???). Tapi hidup adalah pilihan. Tidak semua pilihan menyenangkan. Tapi semua pilihan punya konsekuensi (berasa lagi denger danlap OSPEK jurusan awak orasi). The wind in, the wind out. The heat in, the heat out. Kicauan saya cukup sampai di sini.


#Mohon dikoreksi oleh para empu HVAC dan lain sebagainya yang pasti lebih paham dari katakecil abal-abal ini :D Thanks before...

Monday, November 28, 2011

Andai Lagi... #Apel1

Sang teman mengeluh karena dia ingin membawa lepi dalam perjalanan dinasnya, tapi volume dan berat lepi dia rasa terlalu over akting untuk sekedar dua-tiga hari.

hmm..

Coba ya?
Coba bayangkan, andai lepi itu bagian layarnya bisa dicopot. Kayak modul gitu deh, yang terdiri atas tablet dan PC+keyboard. Jadi kalo mau pergi-pergi, tinggal bawa tabletnya aja.. :D heu..

Ada yang bisa memesankan ke apel?!?!

Esoknya Ranting

Bahkan nasib sebatang ranting pun, kita tidak akan pernah tahu..

Beri dia kesempatan mendewasa dan berdamai dengan hidup,
mungkin dia akan menjadi sebongkah batu yang membara..

Beri dia waktu dan ketabahan para pengampu kesulitan,
maka mungkin engkau temukan dia sebagai intan..

Atau renggut dia sekarang dari akarnya,
dia melayu lalu menyubur bersama bumi...


The Point is...

Sebenarnya, posting panjang saya di bawah ini, dan mungkin menyusul posting-posting lain saya dengan label yang sama, intinya cuma mau bilang: Jekardah itu enjoyable kok..

Mungkin memang kota ini akan menyerap energi hidup para penghuninya, tapi, jika kita mengizinkan, dia pun bisa mengisi bagian-bagian yang kosong dari hati kita..





#Sembari kesel dengan opsi koreksi bahasa otomatis ini, yang justru bikin kacau.. Harus cari-cari tahu settingannya nih..

Sunday, November 27, 2011

Bergolak Belum Tentu Mendidih

Ini adalah tulisan yang saya bikin ketika marah, tapi tidak lantas sambil marah-marah. Marah karena tadinya tulisan sudah jadi sepertiga jalan, eh koneksi error dan belum tersimpan.. Sungguh ter-la-lu.. Ingin rasanya menjitak F* yang payah, tapi apa guna, toh pasti kejadian ini ada hikmahnya. Jadi saya pindah lapak, saya akan melanjutkan nyinyir saya di sini. Nyinyir geje tentang hal yang sebenarnya tidak benar-benar saya pahami. Toh memang tidak pernah ada manusia yang benar-benar paham akan hakikat sesuatu tho? *pembenaran*



Yang Tidak (Benar-Benar) Dicintai, Tapi Dibutuhkan

Ini adalah gosip tentang sebuah kota, pesisir yang selalu hangat oleh matahari, yang punya embel-embel "Daerah Khusus". Dulu waktu SD, saya pikir dua perangkat kata itu tak lebih dari kata yang menerangkan sebuah zona tertentu. Tapi kini, setelah beberapa kali amprokan (hedeeuh) dengan kota ini, saya makin menyadari bahwa frasa itu lebih banyak menggambarkan karakternya yang sebenarnya. Memasuki zona ini, kita akan menemukan aura khusus. Memang benar setiap kota memiliki aura tersendiri, tapi aura kota ini benar-benar berbeda. Simak saja yang ditangkap oleh Benny dan Mice dalam buku-buku mereka, karena akan terlalu panjang jika saya uraikan di sini.

Sungguh hidup (karena mana ada yang mau sungguh-sungguh mati?) saya sudah mencoba berbagai macam jurus untuk berkelit dari kota ini. Tempat impian saya adalah sebuah desa yang tenang dan asri, lengkap dengan angin dan sungai, bukit dan ternak yang berlarian, tapi tetap punya koneksi internet yang handal (sigh). Tapi Sang Maha Tinggi menginginkan saya berkenalan dengannya, sungguh pun saya belum bisa menerima kota ini. Tunggu dulu, saya menerima? Bukankah kota itu yang seharusnya menerima saya, dan saya diterima?!? Ah, hukum aksi-reaksi fisika itu kan relatif, jadi ya.. anggap saja sudut pandang saya ini benar. Lagi pula saya ke sini pun hanya dalam rangka bertandang, incip-incip doang.. heu.. (apa hubungannya dengan kalimat sebelumnya? Gak nyambung!)

Jekardah yang lengkap dengan kepanasannya. Keangkuhannya. Kealienannya. Kekacauannya. Dan ke-semua-mua-annya. Absurd. Begitu kita memasukinya, dia akan menginduksikan sebuah perasaan baru kepada kita: CU-RI-GA. Kapanpun, di manapun, cu-ri-ga lah (bukan mencuri galah tetangga lho!). Dan itu sangat melelahkan (kecuali mungkin bagi sebagian orang yang memang hobi dan dibayar untuk itu, misalnya saja.. ya nggak usah disebut lah).

Jekardah juga merupakan rumah bagi banyak mimpi dan nestapa. Di kota ini nasib orang bisa sangat jungkir balik, dalam waktu yang tidak harus lama. Mungkin itulah yang dibutuhkan oleh sebagian orang yang memutuskan untuk hijrah ke sana. Walaupun saya tidak tahu, apakah para perantau itu (mungkin pada akhirnya saya pun jadi bagian dari mereka?!) akan pernah (benar-benar) mencintai kota itu.

Tapi benarkah cuma itu?

Tulisan ini adalah hasil kegejean saya selama di sana. Jadi ya, geje-geje saja (lho?).




Runtuhnya Teori Chaos

Salah satu bumbu paling khas dari Jekardah adalah: lalu lintasnya yang impossible!

Sebagai eks anak pramuka yang taat aturan dan suka jajan (lho?), pernah suatu kali saya sengaja tidak turun angkot di tempat seharusnya saya turun. Saya mencari jembatan layang dulu biar menyeberangnya enak (pakai bawa-bawa pramuka padahal aslinya bilang aja: takut nyebrang!). Tapi alangkah galaunya, sampai bermil-mil, tak tampak jua adanya struktur baja itu. Ah! Untunglah angkotnya berbelok, sehingga saya tidak perlu menyeberang! Alhamdulillah. (Kamu pikir itu berapa kilometer dari sasaran semula, katakecil! Dudul!).

Lain hari, saya harus naik kopaja di jam sibuk untuk ke tempat teman saya. Teman saya sudah mewanti-wanti, jangan naik kalo nggak dapat tempat duduk, soalnya perjalanannya bakal sangat jauuuuuuh sekali.. mendaki bukit dan menuruni lembah (lebay!). Padahal itu jam orang-orang pulang kantor. Maka berdirilah saya di pinggir jalan sambil bawa kecrekan, lumayan buat ongkos (hush!). Maksud saya, saya harus merelakan beberapa kopaja lewat tanpa campur tangan saya (untuk menyetopnya maksudnya! Aih masak gitu aja gak ngerti? Tuh kan kumat lagi marah-marahnya...). Ya, tepat saat itulah daya permenungan saya diuji (cuih cuih cuihhhh...!).

Terus terang, untuk naik bus kota di Bandung saja, saya suka suteres, apalagi turun dari bus kota! Apalagi ini naik turun kopaja! Bayangkan sodara-sodara: kopaja itu nggak segede bus kota, tapi badannya lebih bobrok dari opeletnya babenya Si Doel, tapi ngebutnya lebih kenceng dari Ferrari, tapi penumpangnya lebih padet daripada kue lepet! Yaaa mungkin nggak semua sih. Tapi semua kopaja yang pernah saya naiki sih seperti itu (nah lhoo!).

Saat malam kian merambat, padahal nggak ada ceritanya jam segitu lalu lintas tiba-tiba senyap, saya terpaksa membuat pilihan: saya harus naik bin berangkat secepatnya! Akhirnya, setelah bermunajat dan membaca segala macam yang bisa dibaca (resep dokter aja yang ketinggalan, soalnya tulisannya cakar dokter), ternyata masih serem juga =D Wekekeke.. (sangat tidak heroik!). Saya hanya bisa memandangi semua kendaraan yang campur aduk kayak cendol itu. Termasuk sepeda motor yang salto dan akrobat dengan sangat ulungnya. Berlapis-lapis pula. Tak mungkin kopaja-kopaja itu mendarat dengan tenang di depan saya, lalu menggelar karpet merah, dengan dayang dan pangeran siap mempersilakan saya masuk (Stop! Back to reality!). Tidak Bissha! (dengan gaya khas sule). Namun, tiba-tiba: teplak! Ada UFO menghantam kepala saya. Eh, bukan UFO dink. Cuma sebutir ide berukuran nano.

Hmm, rupanya begitu...

Ini tak lain dan tak bukan hanyalah versi lain dari kondisi chaos. Karena saya anak fisika abal-abal, pengetahuan saya soal teori chaos ini pastinya sungguh abal-abal juga. Intinya: lautan kendaraan yang kacau galau ini pada dasarnya adalah kumpulan dari para supir yang sebenarnya pengen nyetir lurus dan stabil, namun apa daya masing-masing supir punya sedikit gangguan kejiwaan: pengen lebih dulu nyampe garis finish, soalnya ditunggu istri/anak/suami/kamar mandi mereka di rumah. Dan sedikit gangguan kejiwaan itu, ditunggangi oleh kurangnya jumlah polisi (soalnya, kalo setiap sopir didampingi satu polisi sejati di sebelahnya, pasti jadi sopir taat aturan dah), terjadilah semua kekacauan di atas. Simple tho?

Tugas saya berikutnya, adalah mencari "tali-tali tak terlihat" (versi lain invisible hands) yang mengendalikan semua itu. Semua keteraturan berdiri di atas sebuah aturan (karangan orang ngantuk, jadi mengalah lah dan percaya saja. Tapi Harun Yahya juga bilang begitu kok). Aturan ini harus lebih kuat dan mengikat dari aturan yang mengatur unit-unit kendaraan tadi. Jadi tali tak terlihat itu adalah 'aturan-aturan' yang mengendalikan para sopir! Halah, siapa pula yang menaruh chip di kepala para sopir tadi, menciptakan kawanan dengan sejenis kecerdasan tertentu (amboi, pusingnya.. bawa-bawa Swarm Intelligence..)?

Daripada saya pingsan di tempat karena terpaksa berpikir, akhirnya saya menyimpulkan dengan radikal: YA! GOD behind all these! Dia-lah yang mengendalikan! Dengan melakukan tinjauan terbalik, se-chaos apa pun kondisinya, kondisi stokastik jika diuraikan dengan 'benar' akan menjadi deterministik. So, I determine myself, setelah nyanyi InshaAllah-nya Bang Maher (yang itu lho.. bagian lirik: guide my step.. and don't let me go ashtray.. You're the one who can show me the way... haha untung gak ada pencari bakat di sekitar sana, bisa ditangkap aku, dijadikan pengusir hama codot, huek..), aku pun menyerahkan semuanya kepada Sang Pengatur. And trully, everything became easy and clear! Hahaha.. It's magical how changing your mindset will change everything. Alhamdulillah...


Dan sekarang aku tahu, yang bergolak itu belum tentu mendidih.