Ini adalah tulisan yang saya bikin ketika marah, tapi tidak lantas sambil marah-marah. Marah karena tadinya tulisan sudah jadi sepertiga jalan, eh koneksi error dan belum tersimpan.. Sungguh ter-la-lu.. Ingin rasanya menjitak F* yang payah, tapi apa guna, toh pasti kejadian ini ada hikmahnya. Jadi saya pindah lapak, saya akan melanjutkan nyinyir saya di sini. Nyinyir geje tentang hal yang sebenarnya tidak benar-benar saya pahami. Toh memang tidak pernah ada manusia yang benar-benar paham akan hakikat sesuatu tho? *pembenaran*
Yang Tidak (Benar-Benar) Dicintai, Tapi Dibutuhkan
Ini adalah gosip tentang sebuah kota, pesisir yang selalu hangat oleh matahari, yang punya embel-embel "Daerah Khusus". Dulu waktu SD, saya pikir dua perangkat kata itu tak lebih dari kata yang menerangkan sebuah zona tertentu. Tapi kini, setelah beberapa kali amprokan (hedeeuh) dengan kota ini, saya makin menyadari bahwa frasa itu lebih banyak menggambarkan karakternya yang sebenarnya. Memasuki zona ini, kita akan menemukan aura khusus. Memang benar setiap kota memiliki aura tersendiri, tapi aura kota ini benar-benar berbeda. Simak saja yang ditangkap oleh
Benny dan Mice dalam buku-buku mereka, karena akan terlalu panjang jika saya uraikan di sini.
Sungguh hidup (karena mana ada yang mau sungguh-sungguh mati?) saya sudah mencoba berbagai macam jurus untuk berkelit dari kota ini. Tempat impian saya adalah sebuah desa yang tenang dan asri, lengkap dengan angin dan sungai, bukit dan ternak yang berlarian, tapi tetap punya koneksi internet yang handal (sigh). Tapi Sang Maha Tinggi menginginkan saya berkenalan dengannya, sungguh pun saya belum bisa menerima kota ini. Tunggu dulu, saya menerima? Bukankah kota itu yang seharusnya menerima saya, dan saya diterima?!? Ah, hukum aksi-reaksi fisika itu kan relatif, jadi ya.. anggap saja sudut pandang saya ini benar. Lagi pula saya ke sini pun hanya dalam rangka bertandang, incip-incip doang.. heu.. (apa hubungannya dengan kalimat sebelumnya? Gak nyambung!)
Jekardah yang lengkap dengan kepanasannya. Keangkuhannya. Kealienannya. Kekacauannya. Dan ke-semua-mua-annya. Absurd. Begitu kita memasukinya, dia akan menginduksikan sebuah perasaan baru kepada kita: CU-RI-GA. Kapanpun, di manapun, cu-ri-ga lah (bukan mencuri galah tetangga lho!). Dan itu sangat melelahkan (kecuali mungkin bagi sebagian orang yang memang hobi dan dibayar untuk itu, misalnya saja.. ya nggak usah disebut lah).
Jekardah juga merupakan rumah bagi banyak mimpi dan nestapa. Di kota ini nasib orang bisa sangat jungkir balik, dalam waktu yang tidak harus lama. Mungkin itulah yang dibutuhkan oleh sebagian orang yang memutuskan untuk hijrah ke sana. Walaupun saya tidak tahu, apakah para perantau itu (mungkin pada akhirnya saya pun jadi bagian dari mereka?!) akan pernah (benar-benar) mencintai kota itu.
Tapi benarkah cuma itu?
Tulisan ini adalah hasil kegejean saya selama di sana. Jadi ya, geje-geje saja (lho?).
Runtuhnya Teori Chaos
Salah satu bumbu paling khas dari Jekardah adalah: lalu lintasnya yang impossible!
Sebagai eks anak pramuka yang taat aturan dan suka jajan (lho?), pernah suatu kali saya sengaja tidak turun angkot di tempat seharusnya saya turun. Saya mencari jembatan layang dulu biar menyeberangnya enak (pakai bawa-bawa pramuka padahal aslinya bilang aja: takut nyebrang!). Tapi alangkah galaunya, sampai bermil-mil, tak tampak jua adanya struktur baja itu. Ah! Untunglah angkotnya berbelok, sehingga saya tidak perlu menyeberang! Alhamdulillah. (Kamu pikir itu berapa kilometer dari sasaran semula, katakecil! Dudul!).
Lain hari, saya harus naik kopaja di jam sibuk untuk ke tempat teman saya. Teman saya sudah mewanti-wanti, jangan naik kalo nggak dapat tempat duduk, soalnya perjalanannya bakal sangat jauuuuuuh sekali.. mendaki bukit dan menuruni lembah (lebay!). Padahal itu jam orang-orang pulang kantor. Maka berdirilah saya di pinggir jalan sambil bawa kecrekan, lumayan buat ongkos (hush!). Maksud saya, saya harus merelakan beberapa kopaja lewat tanpa campur tangan saya (untuk menyetopnya maksudnya! Aih masak gitu aja gak ngerti? Tuh kan kumat lagi marah-marahnya...). Ya, tepat saat itulah daya permenungan saya diuji (cuih cuih cuihhhh...!).
Terus terang, untuk naik bus kota di Bandung saja, saya suka suteres, apalagi turun dari bus kota! Apalagi ini naik turun kopaja! Bayangkan sodara-sodara: kopaja itu nggak segede bus kota, tapi badannya lebih bobrok dari opeletnya babenya Si Doel, tapi ngebutnya lebih kenceng dari Ferrari, tapi penumpangnya lebih padet daripada kue lepet! Yaaa mungkin nggak semua sih. Tapi semua kopaja yang pernah saya naiki sih seperti itu (nah lhoo!).
Saat malam kian merambat, padahal nggak ada ceritanya jam segitu lalu lintas tiba-tiba senyap, saya terpaksa membuat pilihan: saya harus naik bin berangkat secepatnya! Akhirnya, setelah bermunajat dan membaca segala macam yang bisa dibaca (resep dokter aja yang ketinggalan, soalnya tulisannya cakar dokter), ternyata masih serem juga =D Wekekeke.. (sangat tidak heroik!). Saya hanya bisa memandangi semua kendaraan yang campur aduk kayak cendol itu. Termasuk sepeda motor yang salto dan akrobat dengan sangat ulungnya. Berlapis-lapis pula. Tak mungkin kopaja-kopaja itu mendarat dengan tenang di depan saya, lalu menggelar karpet merah, dengan dayang dan pangeran siap mempersilakan saya masuk (Stop! Back to reality!). Tidak Bissha! (dengan gaya khas sule). Namun, tiba-tiba: teplak! Ada UFO menghantam kepala saya. Eh, bukan UFO dink. Cuma sebutir ide berukuran nano.
Hmm, rupanya begitu...
Ini tak lain dan tak bukan hanyalah versi lain dari kondisi
chaos. Karena saya anak fisika abal-abal, pengetahuan saya soal
teori chaos ini pastinya sungguh abal-abal juga. Intinya: lautan kendaraan yang kacau galau ini pada dasarnya adalah kumpulan dari para supir yang sebenarnya pengen nyetir lurus dan stabil, namun apa daya masing-masing supir punya sedikit gangguan kejiwaan: pengen lebih dulu nyampe garis finish, soalnya ditunggu istri/anak/suami/kamar mandi mereka di rumah. Dan sedikit gangguan kejiwaan itu, ditunggangi oleh kurangnya jumlah polisi (soalnya, kalo setiap sopir didampingi satu polisi sejati di sebelahnya, pasti jadi sopir taat aturan dah), terjadilah semua kekacauan di atas.
Simple tho?
Tugas saya berikutnya, adalah mencari "tali-tali tak terlihat" (versi lain invisible hands) yang mengendalikan semua itu. Semua keteraturan berdiri di atas sebuah aturan (karangan orang ngantuk, jadi mengalah lah dan percaya saja. Tapi Harun Yahya juga bilang begitu kok). Aturan ini harus lebih kuat dan mengikat dari aturan yang mengatur unit-unit kendaraan tadi. Jadi tali tak terlihat itu adalah 'aturan-aturan' yang mengendalikan para sopir! Halah, siapa pula yang menaruh chip di kepala para sopir tadi, menciptakan kawanan dengan sejenis kecerdasan tertentu (amboi, pusingnya.. bawa-bawa Swarm Intelligence..)?
Daripada saya pingsan di tempat karena terpaksa berpikir, akhirnya saya menyimpulkan dengan radikal: YA! GOD behind all these! Dia-lah yang mengendalikan! Dengan melakukan tinjauan terbalik, se-chaos apa pun kondisinya, kondisi stokastik jika diuraikan dengan 'benar' akan menjadi deterministik. So, I determine myself, setelah nyanyi InshaAllah-nya Bang Maher (yang itu lho.. bagian lirik: guide my step.. and don't let me go ashtray.. You're the one who can show me the way... haha untung gak ada pencari bakat di sekitar sana, bisa ditangkap aku, dijadikan pengusir hama codot, huek..), aku pun menyerahkan semuanya kepada Sang Pengatur. And trully, everything became easy and clear! Hahaha.. It's magical how changing your mindset will change everything. Alhamdulillah...
Dan sekarang aku tahu, yang bergolak itu belum tentu mendidih.