4/27/2007
Entah kenapa, saya juga nggak tahu, kok tiba-tiba saya ‘memutuskan’ untuk menghabiskan novel Michael Crichton: Disclosure setebal 656 halaman itu secepatnya. Padahal tempat penyewaan sendiri memberi batas satu minggu untuk mengembalikannya. Hm, padahal lagi, dari segi cerita, nih novel jauh di bawah Prey, karya Michael Crichton yang pertama kali aku baca minggu lalu. Aku yakin, si Brouw yang barengan minjem nih novel bakal mati bosan kalo harus menamatkannya. Berbelit-belit dan kebanyakan omong, mungkin akan begitu tanggapannya. Saya sendiri memang tidak akan merekomendasikan novel yang sudah difilmkan Warner Bross ini. Soalnya, kata seorang akhwat sekosanku yang kebetulan ikut menilik nih novel, isinya rada-rada nyerempet ke arah X (*Uhuk-uhuk.. setidaknya, bisa memancing orang berpikir melenceng.. Bokep?!?). Tapi karena saya adalah tipe pembaca omnivora yang tak pandang bulu dan tak peduli racun otak, kupikir nih novel bakal menarik juga. Ya-su, aku baca ampe lulus =P
5/5/2007, (*oh My God,, apa saja yang aku lakukan pekan ini?!?)
Wanita, Karir, dan Keluarga
Sebelum kita bicara soal novel, saya sebenarnya bertanya-tanya: masih jamankah membawa diskursus gender dalam karir ke permukaan di era sekarang ini? Ternyata tidak mudah untuk menyimpulkan, apakah wacana pria-wanita, lelaki-perempuan telah mencapai suatu kemapanan ide tertentu, mengingat berbagai tulisan, opini, dan peristiwa yang terus bermunculan mencari sebuah titik kebenaran. Entahlah. Saya sendiri terlahir sebagai perempuan dan menikmati takdir saya ini, tanpa perlu banyak ber’cuap-cuap’ soal kesetaraan gender de-el-el. Mungkin belum saja. Mungkin.
First of all, saya memang tidak akan menakar-nakar Disclosure hungkul. Sepertinya membandingkan isi novel ini dengan beberapa tulisan lain yang pernah saya baca akan asyik jadinya. Tapi tunggu dulu! Novel apa sih yang kita bicarakan ini?
Yup, to put in simple, novel ini berangkat dari mimpi buruk Tom Sanders yang menjadi kenyataan: kehilangan kesempatan promosi setelah pengabdiannya selama dua belas tahun akibat rencana merger dengan perusahaan investor lain! Mimpi buruknya belum berakhir, karena ternyata jabatan itu malah diserahkan kepada bekas pacarnya dulu, Madison (*hehe, lupa namanya!), yang nyata-nyata tidak memiliki kompetensi teknis dalam bidang tersebut. Pada akhir cerita terungkap bahwa naiknya Madison menjadi anak buah kesayangan Boss pemilik perusahaan tersebut merupakan hasil kelihaian rekayasa Madison untuk mengeksploitasi kondisi kejiwaan sang Boss sepeninggal putri kesayangannya. Konflik mulai memanas ketika Madison yang masih menyimpan kenangan hubungan lama mereka mulai mencoba bermain api dan memaksa Sanders dengan ancaman-ancaman implisit. Kondisi hubungan Sanders dengan Susan, istrinya yang berprofesi sebagai pengacara, saat itu memang tengah memburuk. Namun, dengan kesadaran menjaga martabatnya sebagai seorang good husband dengan dua putra, Sanders berhasil melepaskan dirinya dari godaan Madison di saat-saat terakhir. Madison yang merasa diacuhkan meradang, malah menuntut Sanders telah melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
Cerita selanjutnya berkisar pada perjuangan Sanders dan pengacaranya untuk membuktikan dirinya adalah korban. Meskipun harus kehilangan nama baik, teman-teman, dan karier, Sanders terus berupaya mencari bukti-bukti dan menguraikan intrik yang telah disiapkan Madison untuk me-rutan-kan dirinya. Lobi-lobi serta manuver strategi yang disuguhkan cukup alot dan mengejutkan, menggambarkan kepiawaian Crichton meramu cerita. Tapi bagi beberapa orang, hal ini bisa jadi sangat membosankan dan bertele-tele. Intrik mulai terbaca dengan terbongkarnya skandal pelecehan Madison terhadap beberapa karyawan pria pendahulu Sanders. Juga terbukanya kedok hubungan Madison dengan orang-orang yang mengambil keuntungan dibalik proses merger tersebut. Yah, seperti yang diharapkan, happy ending. Sanders kembali dengan jabatannya yang baru, plus bonus duit hasil ganti rugi atas pelecehan yang dilakukan Madison terhadapnya.
Ada apa sebenarnya?
Ada dua kesalahan logika yang muncul dalam novel ini. Pertama, anggapan bahwa seorang laki-laki meroket dengan cepat lalu menduduki jabatan tertentu adalah wajar. Tapi jika seorang wanita melakukan hal yang sama, maka orang-orang akan berpikir: dia pasti ada main dengan bossnya, atau setidaknya pasti ada apa-apanya. Tak bisakah seorang perempuan (*saya lebih suka memakai istilah ini sebenarnya) menduduki posisi terhormat murni karena kompetensinya? Nampaknya masyarakat kita masih sama seperti rekan-rekan Sanders yang langsung men-judge pasti ada ’kasus hitam’ antara Madison dengan sang Boss, tanpa peduli dengan rangkaian tahapan yang dilalui Madison untuk sampai di titik dia berada saat itu. Sayangnya, pandangan orang masih berotasi pada asumsi bahwa wanita ’dipakai’ karena dua hal: satu karena dia adalah ’wanita’ (*baca: penilaian fisik) dan alasan kedua adalah untuk semata-mata menghindari tuduhan bahwa perusahaan tersebut melakukan diskriminasi. Padahal, selain Madison, di perusahaan itu juga ada dua petinggi wanita yang sangat kompeten dan profesional. Tapi apalah artinya dua wanita dihadapan ’kekuasaan’ dunia kerja yang didominasi puluhan lelaki. Uhuuk.. (*jadi ingat diri sendiri, bagaimana nanti.. bagaimana nanti??)
Kesalahan ke-dua adalah anggapan juri yang pasti muncul untuk kasus percobaan pelecehan seksual di ruang tertutup seperti di atas. Adalah pasti the bad guy merupakan pihak male yang memiliki kekuatan fisik dan mental yang lebih kuat dan dianggap mampu melakukan suppressi. Sedangkan wanita, sampai kapanpun dalam kacamata patriarki selalu dianggap lemah dan korban! Novel ini membaliknya. Dilema ”yang lemah adalah korban” telah memojokkan hidup Sanders, padahal dalam kasus ini, dialah korban yang sebenarnya!” Tapi siapa yang bisa percaya wanita muda yang cantik, kaya, dan pintar seperti Madison mau-maunya mengejar-ngejar Sanders? Lagi-lagi Crichton menunjukkan betapa logika manusia mudah ditipu asumsi dan paradigma belaka.
Entah karena penulis tidak memisahkan diri dari egonya sebagai seorang lelaki, atau entah dengan alasan apa, dalam penggambaran Crichton wanita-wanita karir dalam novel-novelnya sering diberi stigma negatif. Dalam novel ini, Mrs. Sanders bisa dibilang gagal sebagai seorang perempuan. Penggambaran Susan sebagai istri yang bekerja dan tak becus mengurus anak justru menambah stress sang suami seolah menekankan status perempuan yang ’mau gimana juga perempuan ya perempuan’, nggak ada cerita perempuan bisa mengungguli laki-laki. Begitu juga dalam novelnya, Prey, istri tokoh utama yang terjebak dalam karier justru diposisikan sebagai tokoh antagonis. Yah, sisi tidak fair ini setidaknya dalam pandangan saya pribadi dengan kacamata ’ideal’ saya, bahwa perempuan adalah makhluk yang menyembunyikan keperkasaannya, hingga mampu mengabdikan 24 jamnya bagi orang lain. Baik dalam lingkup domestik maupun dalam ranah karier. Karena saya sudah melihat buktinya dalam keseharian saya. Bahkan dalam I don’t Know how She does it-nya Allison Pearson, dengan gaya ceritanya yang menukik dan cerdas dia tuliskan: ”sebenarnya wanita tidak butuh lelaki. Lelakilah yang lebih membutuhkan wanita. Hanya saja mereka tidak menyadarinya”. Umm,, gimana ya?!?
Sepi dari nilai-nilai transenden
Itulah yang saya rasakan saat membaca novel ini. Hidup bisa menjadi sangat berat dan menyakitkan, tapi tidak pernah cukup kejam untuk membiarkan dirimu sendirian tanpa pegangan. Ya, jika kita punya backing yang benar-benar bisa diandalkan. Tapi jangan berharap ada dialog atau scene kontemplasi dengan Tuhan dalam novel penuh hawa materialisme ini. Bisa jadi yang akan kita temukan adalah sebuah potongan sengak: ”.. jika Engkau memang ada.. ”. Tapi, yah.. Begitulah mungkin potret barat saat itu, kalau tak salah settingnya sekitar tahun 1992. Sebuah budaya yang tengah digerogoti rayap kehancurannya.
Jika harus menawarkan solusi..
Maka dengan PD tengoklah Islam! Jika sejak awal Crichton membentengi dirinya dengan ghadwul bashar, nggak akan jadi tuh cerita Crichton, hehehe.. Dan andai Madison dan kawan-kawan wanitanya sejak mula berteguh pada tatanan Islam, I wonder, apakah pandangan yang beredar pada paragraf enam di atas akan pernah terbukti. Uhm, wanita karir dan Islam. Atau lebih suka lagi saya sebutkan ibu peradaban dan Islam. Sounds nice.. tapi saya tidak akan membahasnya di sini. Terlalu panjang.
Memang harus dipahami pula, dengan bergesernya peradaban dari sebuah dunia yang mendeklarasikan: ”siapa yang kuat, dia yang dapat” menjadi sebuah dunia baru yang seperti kata Hermawan Kertajaya kevenus-venusan: ”bukan cuma otot, tapi otak. Bukan cuma otak, tapi softskill..” maka perempuan pun mampu mengeksploitasi keluwesannya, kemudian mulai membanjiri dunia kerja. Dan menduduki posisi-posisi yang dulu hanya bisa dipegang oleh pria. Lalu apakah pria menjadi kehilangan lapangan kerjanya? Bisa jadi dan memang sangat bisa jadi ya! Tapi harus juga disadari, kebanyakan perempuan yang terjun ke dunia kerja semestinya memiliki alasan-alasan tertentu [jika dia mengikuti syariat Islam]. Karena kewajiban mencari nafkah tidak pernah dibebankan pada wanita, sejak dia lahir hingga meninggal dunia. Lagipula, memanfaatkan potensi perempuan seutuhnya merupakan sebuah bukti kesyukuran juga. Di alin sisi, bagaimana dengan ketimpangan yang ditinggalkan perempuan dalam lingkungan domestik? Merujuk pada tulisan Trian yang menyorot kiprah perempuan dalam profesi, dialog dijadikan benteng yang akan menyelamatkan keseimbangan sebuah bangunan keluarga.
Pertanyaannya adalah: apakah cukup dengan dialog? Saya sendiri beranalogi, bahwa dialog hanyalah sebuah proses untuk membuka tutup botol. Untuk bisa meminum air dalam botol itu, kita masih harus menuangkan isinya! Biarpun botol telah terbuka, selamanya air akan terus ngendon di botol jika kita tidak memindahkannya ke gelas. Tidak pernah tercapai tujuan itu sendiri. Begitulah. Lalu, langkah menuangkan isi botol itu sendiri analog dengan apa? Entahlah... Kalau saya sendiri masih teringat dengan ucapan Ustadz Emil: ”Kejam sekali kalau perempuan selain berkarir ternyata masih harus dibebani pekerjaan rumah tangga. Lebih baik, kalau dia bekerja maka dia bekerja dengan sepenuhnya sehingga penghasilannya sangat besar. Tidak tanggung-tanggung..”. Lalu pekerjaan domestik keluarga tersebut dapat menjadi ladang maisyah bagi wanita muslimah lain. Bagaimana?
[* I’m really sorry jika ada kesalahan penulisan nama, saya sudah agak-agak lupa dengan detail novel ini. BeTeWe, lucu juga. Nge-review novel kok malah nawarin solusi..?!?]