Pagi itu, didorong oleh hasrat terpuji memenuhi nafsu sarapan yang tak terbendung (oiiii.... Mau dibuat jadi blog apa ini, Bong? Lama tidak menulis, bahasamu sungguh censored friendly.. Sigh.. #abaikan!) aku pun berjuang menempuh 1367 langkah (bohong, ngga dihitung -,-" ) menuju sumber mata jajanan sarapan nun di RW seberang sana. Setelah bubur ayam dan kue-kue bersemayam di kantong, di jalan pulang pun sesuatu menanti. Ia adalah panggilan jiwa yang tak bisa diabaikan: nasi kuning, yosh! Ah, sebenarnya bukan godaan nasi kuningnya, tapi penjualnya yang gadis cilik manis itu membuat saya merasa ingin membeli dagangannya (o really? Why salivating then?). Yup, jam sepagi ini dia menjaga lapak kecilnya yang hanya berupa meja kecil dan kursi plastik di tepi jalan itu. Saat teman-teman cilik seusianya berseliweran di depannya berangkat sekolah dengan seragam mereka yang juga manis (note: tidak saya jilatin satu-satu, hanya perkiraan.) Saya kira dia pun menyambi membaca buku tulis entah apa. Aku tidak begitu ingat.
So there I go. Memancing uang yang tersisa dari kantongku. Aih shimatta. Hanya ada 4500 padahal harga nasi kuning yang sudah aku pegang itu 5000 perak. Membatalkannya tidak akan meruntuhkan gengsiku (karena memang tidak punya), tapi itu akan meninggalkan rasa tidak enak di lidah (maksud e opo?)
Ya, begitulah. Akhirnya di kantong yang lain aku temukan juga kertasnya Bank Endonesah pecahan besar. Si anak manis dengan wajah gusar menyatakan seluruh uang yang ia hitung dari kalengnya tidak cukup sebagai kembalian. Aku pun tersenyum dan mengambil uang dari tangannya itu setelah menaruh uangku di meja. Lalu aku cepat-cepat berlalu sebelum anak itu beres berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi (ehm, sebenarnya aku cepat-cepat pergi sebelum pikiran burukku menjadikan anak itu sebagai sandera dan penebus menjadi-jadi).
Begitulah.
Kadang kita tidak menghargai arti receh 500 rupiah, sampai kita tahu bahwa 1 M tidak akan menjadi 1 M jika kurang 1 sen saja. Ah, pelajaran yang manis untuk cebong yang jarang beramal ini.
Note super penting: saya ngga makan bubur ayamnya lho.. Beneran saya ngga sarapan sebanyak itu.. Cuma nasi kuning, kue manis dua, gorengan dua, lalu... Eh.. Hehehe... :)
So there I go. Memancing uang yang tersisa dari kantongku. Aih shimatta. Hanya ada 4500 padahal harga nasi kuning yang sudah aku pegang itu 5000 perak. Membatalkannya tidak akan meruntuhkan gengsiku (karena memang tidak punya), tapi itu akan meninggalkan rasa tidak enak di lidah (maksud e opo?)
Ya, begitulah. Akhirnya di kantong yang lain aku temukan juga kertasnya Bank Endonesah pecahan besar. Si anak manis dengan wajah gusar menyatakan seluruh uang yang ia hitung dari kalengnya tidak cukup sebagai kembalian. Aku pun tersenyum dan mengambil uang dari tangannya itu setelah menaruh uangku di meja. Lalu aku cepat-cepat berlalu sebelum anak itu beres berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi (ehm, sebenarnya aku cepat-cepat pergi sebelum pikiran burukku menjadikan anak itu sebagai sandera dan penebus menjadi-jadi).
Begitulah.
Kadang kita tidak menghargai arti receh 500 rupiah, sampai kita tahu bahwa 1 M tidak akan menjadi 1 M jika kurang 1 sen saja. Ah, pelajaran yang manis untuk cebong yang jarang beramal ini.
Note super penting: saya ngga makan bubur ayamnya lho.. Beneran saya ngga sarapan sebanyak itu.. Cuma nasi kuning, kue manis dua, gorengan dua, lalu... Eh.. Hehehe... :)