Ini adalah hari yang biasa di tempat yang biasa
bagi biasanya orang. Tapi bagi saya hari itu agaknya cukup luar biasa, karena perjalanan
saya ke Jakarta kali ini lain dari biasanya. Setelah serangkaian keunikan yang
akan saya kisahkan dalam note lain di blog ini juga, rasanya kejadian inilah
yang paling berkesan bagi saya.
Setiap kali naik Bus Patas 76 rute Ciputat-Pasar
Senen, pada siang hari di daerah Fatmawati, ada seorang pedagang asongan yang
naik menjajakan dagangannya: permen jahe Sari Wangi, kacang atom, permen asam,
dan entah apa lagi saya lupa; yang jelas semuanya adalah produk industri rumah
tangga. Menyalahi kebiasaan saya yang suka merasa terganggu jika ada pedagang
yang menawarkan dagangan di dalam angkutan umum, akhir-akhir ini saya berusaha
lebih memperhatikan dan berusaha membeli jika ada yang sesuai dengan kehendak
hati saya. Namun, seringnya hanya berhenti di “memperhatikan”, karena saya suka
merasa sulit untuk memulai transaksi dengan mereka (Douuh! Antisosial
banget dah!) Padahal ingin sekali saya ikut menjadi jalan rezeki bagi mereka
dan industri lokal kita. Entah angin apa yang merasuki saya waktu itu.
Tiba-tiba saya memutuskan untuk membeli salah satu jualan Abang itu. Kacang atomnya
lebih mirip kacang madu daripada kacang atom yang biasa saya temui di Bandung. Rasanya
tidak mengecewakan, sehingga saya menyimpulkan lain kali saya akan melakukan pembelian
ulang. Dan hari pun berlalu.
Kesempatan lain itu datang di hari yang aneh itu.
Setelah “seharian” disuguhi berbagai macam pengamen, eh, pedagang asongan
berseragam hijau itu pun naik lah. Saya sendiri tidak tahu apakah ini pedagang
yang sama dengan yang sebelumnya, ataukah jualannya saja yang sama. Yang jelas
saya pun membeli lagi, kali ini sebungkus permen jahe dan sebungkus kacang
atom. Setelah menimbang-nimbang, terbit sebuah ide dalam hati saya. Alangkah
lebih berat dan mulianya jalan orang-orang yang menjaga dirinya dari
meminta-minta dalam bentuk sehalus apapun. Yang rela bekerja keras demi rezeki
kecil nan berkah. Atas nama harga diri, kehormatan, atau apapun. Dan Islam
sangat menghormati orang-orang yang menjaga izzah-nya tersebut. Saya sendiri
bukanlah orang yang sanggup seperti itu. Belum bisa, lebih tepatnya. Karena
itulah saya sangat mengagumi mereka.
Dan terbitlah ide itu. Pada para pengamen tadi,
saya bisa memberi sejumlah uang yang menurut saya cukup besar untuk ukuran
katakecil seperti saya, tanpa ia harus bekerja sekeras itu. Masak iya untuk
pedagang yang bekerja keras seperti itu saya tidak ingin melakukan sesuatu?
Maka saya menambahkan satu lembar uang seribu rupiah dalam lembaran jumlah yang
seharusnya saya bayar, yang kemudian saya gulung sedemikian rupa sehingga
semuanya menjadi satu kesatuan. Benar Kawan, itu jumlah yang tidak ada
apa-apanya bagi sebagian besar kita. Tapi itulah yang saya putuskan akan saya sisipkan
saat itu. Saat menyerahkannya, saya berharap Abang itu tidak sempat membuka dan
menghitungnya. Sungguh, saya tidak ingin menyakiti harga diri beliau. Dan benar
saja, ketika beliau mengambil dagangannya, karena agak buru-buru, beliau
langsung mengambil tanpa menghitungnya. Saya tersenyum bersyukur. Saya pikir
beliau tidak akan mengetahuinya, kalaupun tahu, pastinya setelah menghitung
total penjualan di ujung hari.
Iya, saya pikir beliau telah turun dari bus
ketika tiba-tiba beliau kembali dan menyodorkan uang seribu kucel tadi seraya
berkata: “Mbak yang tadi beli kan? Uangnya lebih, Mbak!” Sungguh saya kehabisan
kata dan hanya bisa menerima kembali uang tadi seraya tersenyum dengan pikiran
kacau. Oh sungguh, selarik salju telah turun di Jakarta siang itu. Untuk saya.
Karena telah bertemu dengan spesies manusia langka di rimba Jakarta ini.
Berlebihankah saya? Rasanya tidak. Tengoklah kelakuan orang-orang yang
bertindak aneh-aneh hingga sanggup menipu, memeras, dan semua kata gelap
lainnya: demi selembar dua yang tak seberapa nilainya. Kebaikan masih ada di
Jakarta. Kejujuran yang setitik itu, semoga kan jadi bara yang menularkan nyala
bagi sebanyak-banyak jiwa. Hingga semoga kelak, akan teranglah kota ini.
Ah, seperti biasa saya lebay. Tapi izinkahlah
saya yang lebay ini meminta tolong padamu, Kawan.. Jika satu kesempatan kalian
lihat yang seperti beliau, tolong belilah dagangannya. Walaupun hanya sebiji.
Karena semua yang pernah dalam kesulitan yang pekat gelap sempurna tahu artinya
sebintik bara harapan. Benar, Kawan. Sebintik saja.. Itu cukup untuk membuatmu,
membuatku, membuat kita melangkah sekali lagi.. Berjuang lagi.. Jangan sampai ada
yang berkata: “Kebaikan telah hilang dari dada umat ini…”
>> Ditulis ngacrut dalam jam kerja Jumat
ini. Duh. Korupsi ==” Diedit ntar-ntar kalau sudah ada azzam, haha..